seratussatumalam
Saatnya Menjadi Insan yang Bermanfaat Bagi Sesama
Rabu, 01 Juni 2016
Al-Qaabidh dan Al-Baasith
PENDAHULUAN
Di antara nama Allah Azza wa Jalla yang jarang disebut dan diingat orang adalah al-Qâbidh dan al-Bâsith. Kalaupun ada yang menyebutnya, maka hanya dalam bentuk main-main karena disenandungkan dalam suatu nyanyian bermusik. Padahal kedua nama itu termasuk al-Asmâ’ al-Husnâ.
Mestinya nama-nama Allah disebut dengan sungguh-sungguh, khusyu’, tawadhu’ dan penuh penghormatan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِـهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْـمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Hanya milik Allah Asma-ul Husna (nama-nama yang sangat indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu dan tinggalakanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. al-A’râf/7:180)
DALIL NAMA ALLAH: AL-QÂBIDH DAN AL-BÂSITH
Dalil yang membuktikan al-Qâbidh dan al-Bâsith sebagai nama Allah ialah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Ia berkata:
غَلاَ السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَقَالُوْا : يَا رَسُوْلَ الله! سَعِّرْ لَنَا! فَقَالَ : إِنَّ اللهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ، اَلْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ (عند الترمذي: الرَّزَّاقُ) وَإِنِّى لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللهَ (عند الترمذي وابن ماجه : أن أَلْقَى رَبِّي) وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يُطَالِبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِى دَمٍ وَلاَ مَالٍ (عند الترمذي: يَطْلُبُنِي). أخرجه أبو داود والترمذي وابن ماجه
Harga barang-barang pernah menjadi mahal pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karenanya para sahabat berkata: Ya Rasulallah, tetapkanlah harga untuk kami. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah-lah yang membuat ketetapan harga, Dia adalah al-Qâbidh (Maha menahan/ menyempitkan rizki), al-Bâsith (Maha membentangkan/ meluaskan rizki), ar-Râziq (Maha menganugerahkan rizki) –Dalam riwayat Tirmidzi, dengan lafal: ar-Razzâq-. Dan sesungguhnya aku berharap menjumpai Allah dalam keadaan tiada seorangpun yang menuntut kepadaku (di hadapan Allah) karena suatu kezaliman yang aku lakukan, baik berkaitan dengan darah maupun harta. (HSR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Banyak ulama memasukkan kedua nama ini dalam himpunan nama-nama Allah Azza wa Jalla yang mereka kumpulkan.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah juga memasukkannya ke dalam himpunan nama-nama Allah yang beliau kumpulkan dalam kitabnya al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî Shifâtillâh wa Asmâ’ihi al-Husnâ.
MAKNA NAMA ALLAH: AL-QÂBIDH DAN AL-BÂSITH
DAN PENGAMALAN MAKNANYA
Menurut Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim Abadiy, pensyarah Sunan Abu Dawud, juga Mubarakfûriy- pensyarah Jâmi’ at-Tirmidzi, ma’na Al-Qâbidh dan al-Bâsith ialah: Allah Maha Menyempitkan dan Maha meluaskan rizki serta lainnya bagi siapa yang dikehendaki, menurut cara yang dikehendaki dan kapanpun Dia kehendaki.
Karena al-Qâbidh dan al-Bâsith merupakan nama Allah Azza wa Jalla, maka sepantasnya setiap muslim mengenalnya dan memahami serta menghayati ma’nanya. Yaitu bahwa setiap rizki dan setiap kemudahan dalam hal apa saja, hanya datang dari Allah Azza wa Jalla. Begitu pula ketika seseorang mengalami kesulitan, krisis rizki dan tidak mendapatkan seperti yang diharapkannya, atau tidak mendapatkan kemudahan, semua itu tidak lain hanya Allah-lah yang menetapkannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ
Allah meluaskan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. (QS. ar-Ra’d/13:26)
وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Dan Allah menyempitkan serta melapangkan (rizki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (QS. al-Baqarah/2:245)
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ
Sesungguhnya Rabbmu melapangkan rizki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. (QS. al-Isrâ’/17:30)
Dan masih banyak ayat-ayat al-Qur’an lainnya yang menerangkan bahwa Allah-lah yang melapangkan rizki atau menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.
Sepantasnya pula, setiap muslim menjaga, menghormati dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyebut atau mengingat nama itu sesuai dengan tuntutan ma’nanya, baik doa dalam arti memohon maupun doa dalam arti melakukan peribadatan-peribadatan lain. Sebab doa memiliki dua pengertian, pertama: memohon dan kedua: melakukan peribadatan selain memohon, seperti berdiri atau duduk dalam shalat atau dzikir-dzikir yang tidak bersifat meminta.
Artinya, ketika seseorang memohon agar Allah Azza wa Jalla memberikan kemudahan dan kelapangan hidup yang baik, bersih dan halal serta menjauhkannya dari kesulitan rizki, maka tidak ada salahnya kalau ia menyebut-nyebut nama al-Qâbidh dan al-Bâsith.
Atau ketika menjalani kehidupan, baik dalam keadaan sempit maupun dalam keadaan lapang, ia selalu tetap konsisten beribadah kepada Allah, sebab ia selalu ingat bahwa di antara nama Allah adalah nama al-Qâbidh dan al-Bâsith. Di saat lapang ia ingat bahwa kelapangan yang diperolehnya semata karena Allah yang bernama al-Bâsith. Sehingga ia semakin bersemangat dalam beribadah, semakin bersyukur atas segala karuniaNya dan semakin bersemangat memohon kelapangan rizki yang halal. Pada saat yang sama iapun menyadari dan siap jika suatu ketika Allah menyempitkan rizki baginya karena Allah adalah al-Qâbidh, sehingga ia tidak kaget.
Maka di saat ia benar-benar dalam keadaan sempit, ia bersabar, bertawakkal dan banyak memohon pertolongan kepada Allah. Ia tetap yakin bahwa Allah yang bernama al-Qâbidh dan al-Bâsith, suatu ketika akan melepaskannya dari kesempitan yang menimpanya dan dengan itu ia juga mengharapkan pahala dari Allah.
Dan apabila selalu demikian keadaannya, berarti ia telah merealisasikan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang terdapat dalam firmanNya:
وَلِلَّهِ الْأَسْـمَاءُ الْـحُسْنَى فَادْعُوهُ بِـهَا
Hanya milik Allah Asma-ul Husna (nama-nama yang sangat indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu. (QS. al-A’râf/7:180)
Berarti ia telah berdoa, dalam arti seluas-luasnya kepada Allah, meliputi doa permohonan dan doa peribadatan lain, dengan menyebut atau mengingat nama-nama Allah sesuai dengan tuntutan ma’nanya. Wallahu A’lam.
Yang tidak kalah pentingnya, tidak mendendangkan Asmâ’ul Husnâ dalam lagu-lagu dan main-main, apalagi dalam suasana ikhtilâth (campur) antara laki-laki dan perempuan. Tetapi dengan sungguh-sungguh, khusyu’ dan tawadhu’. Dan tidak harus pula menyebutkan Asmâ’ul husnâ itu secara keseluruhan sebanyak sembilan puluh sembilan nama secara berurutan. Sebab tidak ada nash yang shahih yang menyebutkan sembilan puluh sembilan nama itu secara berurut. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Tidak benar adanya penentuan urut-urutan nama-nama Allah ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penentuan urut-urutan ini lemah”. []
Senin, 30 Mei 2016
Makna Dan Cakupan Ibadah
IBADAH ADALAH HIKMAH PENCIPTAAN
Allah عزّوجلّ telah memberitakan kepada kita bahwa Dia menciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepada-Nya. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat/51:56)
Oleh karena itu Allah memberikan ujian dengan perintah ibadah, melaksanakan perintah, dan menjauhi segala larangan-Nya. Allah عزّوجلّ berfirman:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا
(Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Al-Mulk/67: 2)
Maka semua yang berakal, dari kalangan jin dan manusia, semenjak dewasa sampai meninggal dunia dia berada dalam ujian dan cobaan.
Kalau kita memahami hal ini, maka alangkah pentingnya kita mengetahui makna ibadah dan cakupannya, sehingga kita bisa mengisi hidup kita dengan ibadah untuk bisa meraih ridha Allah عزّوجلّ.
TA'RIF IBADAH SECARA BAHASA DAN ISTILAH
Ibadah secara bahasa adalah ketundukan dan kerendahan atau kepatuhan, seperti perkataan bangsa Arab, "thariq mu'abbad" artinya jalan yang merendah karena diinjak oleh telapak kaki. Atau seperti perkataan "ba'ir mu'abbad" artinya onta yang patuh.
Az-Zajaj رحمه الله (wafat 311 H), seorang ahli bahasa Arab, berkata, "Ibadah dalam bahasa maknanya ketaatan disertai ketundukan". (Lisanul 'Arab, bab: 'abada)
Ar-Raghib al-Ash-bihani رحمه الله (wafat 425 H), seorang ahli bahasa Afab, berkata, '"Ubudiyah adalah menampakkan ketundukan, sedangkan ibadah lebih tinggi darinya, karena ibadah adalah puncak ketundukan". (Mufradat Alfazhil Qur'an, hlm. 542)
Sedangkan, ibadah secara istilah, para ulama telah menjelaskannya dengan ungkapan yang berbeda-beda, namun intinya sama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله (wafat 728 H) berkata, "Ibadah adalah satu istilah yang menghimpun seluruh apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan dan perbuatan, yang lahir dan yang batin." (Al-'Ubudiyah, hlm: 23, dengan penelitian: Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi hafizhahullah)
Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ini mencakup seluruh jenis ibadah dalam agama Islam.
CAKUPAN IBADAH
Ibadah dalam agama Islam mencakup ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.
1) Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah adalah perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan yang asalnya memang merupakan ibadah, berdasarkan nash atau lainnya yang menunjukkan perkataan dan perbuatan tersebut haram dipersembahkan kepada selain Allah عزّوجلّ.
Dalam kitab ad-Dinul Khalish, 1/215, disebutkan pengertian ibadah mahdhah, "Segala yang diperintahkan oleh Pembuat syari'at (yaitu: Allah عزّوجلّ-pen), baik berupa perbuatan atau perkataan hamba yang dikhususkan kepada keagungan dan kebesaran Allah عزّوجلّ."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله menyatakan, "Wudhu adalah ibadah, karena ia tidak diketahui kecuali dari Pembuat syari'at, dan semua perbuatan yang tidak diketahui kecuali dari Pembuat syari'at, maka itu adalah ibadah, seperti shalat dan puasa, dan karena hal itu juga berkonsekuensi pahala." (Al-Mustadrak 'ala Majmu' al-Fatawa, 3/29; Mukhtashar al-Fatawa al-Mishriyah, hlm. 28)
Maka semua perbuatan atau perkataan yang ditunjukkan oleh nash atau ijma' atau lainnya, atas kewajiban ikhlas padanya, maka itu adalah ibadah dari asal disyari'atkannya, sedangkan yang tidak demikian maka itu bukan ibadah dari asal disyari'atkannya, namun bisa menjadi ibadah dengan niat yang baik, sebagaimana penjelasan berikutnya.
Ibadah mahdhah ini mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Ibadah hati yaitu keyakinan dan amalan
Ibadah hati terbagi menjadi dua bagian:
1. Qaulul qalbi (perkataan hati), dan dinamakan i'tiqad (keyakinan; kepercayaan). Yaitu keyakinan bahwa tidak ada Rabb (Pencipta; Pemilik; Penguasa) selain Allah, dan bahwa tidak ada seorangpun yang berhak diibadahi selain Dia, mempercayai seluruh nama-Nya dan sifat-Nya, mempercayai para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir, taqdir baik dan buruk, dan lainnya.
2. 'Amalul qalbi (amalan hati), di antaranya ikhlas, mencintai Allah عزّوجلّ, mengharapkan pahala-Nya, takut terhadap siksa-Nya, tawakkal kepada-Nya, bersabar melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya dan lainnya.
b. Ibadah perkataan atau lisan
Di antaranya adalah mengucapkan kalimat tauhid, membaca al-Qur'an, berdzikir kepada Allah dengan membaca tasbih, tahmid, dan lainnya; berdakwah untuk beribadah kepada Allah, mengajarkan ilmu syariat, dan lainnya.
c. Ibadah badan
Di antaranya adalah melaksanakan shalat, bersujud, berpuasa, haji, thawaf, jihad, belajar ilmu syari'at, dan lainnya.
d. Ibadah harta
Di antaranya adalah membayar zakat, shadaqah, menyembelih kurban, dan lainnya.
2) Ibadah Ghairu Mahdhah
Ibadah ghairu mahdhah adalah perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan yang asalnya bukan ibadah, akan tetapi berubah menjadi ibadah dengan niat yang baik.
Namun, jika perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan ini dilakukan dengan niat yang buruk akan berubah menjadi kemaksiatan, dan pelakunya mendapatkan dosa. Seperti, melakukan jual beli untuk mendapatkan harta dengan niat untuk melakukan maksiat; makan minum agar memiliki kekuatan untuk mencuri; mempelajari ilmu yang mubah, seperti kedokteran atau teknik, dengan niat untuk mendapatkan pekerjaan yang dengan pekerjaan itu dia bisa melakukan perbuatan maksiat.
Jika seseorang melakukan perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan ini dengan tanpa niat yang baik atau niat buruk, maka perbuatan tersebut tetap pada hukum asalnya, yaitu mubah.
Ibadah ghairu mahdhah ini mencakup hal-hal berikut:
a. Melaksanakan wajibat (perkara-perkara yang diwajibkan) dan mandubat (perkara-perkara yang dianjurkan) yang asalnya tidak masuk ibadah, dengan niat mencari wajah Allah
Misalnya:
• Mengeluarkan harta untuk keperluan diri sendiri, seperti makan, minum, dan sebagainya, dengan niat menguatkan badan dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah عزّوجلّ.
• Berbakti kepada orang tua dengan niat melaksanakan perintah Allah عزّوجلّ.
• Memberi nafkah kepada anak dan istri dengan niat melaksanakan perintah Allah عزّوجلّ.
• Mendidik anak dan membiayai sekolahnya dengan niat agar mereka bisa beribadah kepada Allah عزّوجلّ dengan baik.
• Menikah dengan niat menjaga kehormatan diri sehingga tidak terjatuh ke dalam zina.
• Memberi pinjaman hutang dengan niat menolong dan mencari pahala Allah عزّوجلّ.
• Memberi hadiah kepada orang dengan niat mencari wajah Allah عزّوجلّ.
• Memuliakan tamu dengan niat, melaksanakan perintah Allah عزّوجلّ.
• Memberi tumpangan kepada seorang yang tua agar sampai ke tempat tujuannya dengan niat mencari wajah Allah عزّوجلّ.
Di antara dalil yang menunjukkan hal itu sebagai ibadah adalah hadits Nabi صلى الله عليه وسلم:
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ يـَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ
Dari Abu Mas'ud رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم, Beliau bersabda, "Jika seorang laki-laki mengeluarkan nafkah kepada keluarganya yang dia mengharapkan wajah Allah dengannya, maka itu shadaqah baginya". (HR. Al-Bukhari, no. 55)
Dalam hadits lain diriwayatkan:
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِـهَا وَجْهَ اللهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ
Dari Sa'ad bin Abi Waqqash رضي الله عنه , bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Sesungguhnya engkau tidak mengeluarkan nafkah yang engkau mencari wajah Allah dengan-Nya kecuali engkau diberi pahala padanya, termasuk apa yang engkau taruh di mulut istrimu". (HR. Al-Bukhari, no. 56)
b. Meninggalkan muharramat (perkara-perkara yang diharamkan) untuk mencari wajah Allah عزّوجلّ.
Termasuk dalam hal ini adalah meninggalkan riba, meninggalkan perbuatan mencuri, meninggalkan perbuatan penipuan, dan perkara-perkara yang diharamkan lainnya. Jika seorang Muslim meninggalkannya karena mencari pahala Allah عزّوجلّ, takut terhadap siksa-Nya, maka itu menjadi ibadah yang berpahala.
Namun jika seorang Muslim meninggalkan suatu perbuatan maksiat karena tidak mampu melakukannya, atau karena takut terhadap had dan hukuman, atau tidak ada keinginan, atau sama sekali tidak pernah memikirkannya, maka dia tidak mendapatkan pahala.
Dalilnya adalah hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَقُولُ اللَّهُ: إِذَا أَرَادَ عَبْدِي أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً فَلَا تَكْتُبُوهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَا فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا بِمِثْلِهَا وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِي فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ
Dari Abu Hurairah رحمه الله, bahwa Rasululldh صلى الله عليه وسلم bersabda, "Allah berfirman: Jika hamba-Ku berkeinginan melakukan keburukan, maka janganlah kamu menulisnya sampai dia melakukannya. Jika dia telah melakukannya, maka tulislah dengan semisalnya. Dan jika dia meninggalkannya karena Aku maka tulislah satu kebaikan untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, kemudian dia tidak melakukannya, maka tulislah satu kebaikan untuknya. Jika dia telah melakukannya, maka tulislah baginya sepuluh kalinya sampai 700 kali". (HR. Al-Bukhari, no. 7501)
Melakukan mubahat (perkara-perkara yang dibolehkan) untuk mencari wajah Allah عزّوجلّ.
Di antaranya tidur, makan, menjual, membeli, dan usaha lainnya dalam rangka mencari rezeki. Semua ini dan yang semacamnya hukum asalnya adalah mubah. Jika seorang Muslim melakukannya dengan niat menguatkan diri untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah, maka hal itu menjadi ibadah yang berpahala.
Dalil adalah hadits Abu Mas'ud dan Sa'ad yang telah lewat. Demikian juga perkataan Mu'adz bin Jabal, ketika ditanya oleh Abu Musa al-Asy'ari, "Bagaimana engkau membaca al-Qur'an?" Beliau رضي الله عنه menjawab:
أَنَامُ أَوَّلَ اللَّيْلِ، فَأَقُومُ وَقَدْ قَضَيْتُ جُزْئِي مِنْ النَّوْمِ، فَأَقْرَأُ مَا كَتَبَ اللَّهُ لِي، فَأَحْتَسِبُ نَوْمَتِي كَمَا أَحْتَسِبُ قَوْمَتِي
Aku tidur di awal malam, lalu aku bangun dan aku telah memberikan bagian tidurku, lalu aku membaca apa yang Allah takdirkan untukku. Sehingga aku mengharapkan pahala pada tidurku, sebagaimana aku mengharapkan pahala pada berdiri (shalat) ku". (HR. Al-Bukhari, no. 4341)
Ini semua menunjukkan bahwa ibadah mencakup seluruh sisi kehidupan manusia. Semoga Allah memberikan kemudahan dan kemampuan kepada kita untuk beribadah kepada-Nya dengan sebaik-baiknya.[]
Jumat, 27 Mei 2016
Jangan Ikuti Hawa Nafsu
MUQODDIMAH
Secara bahasa, hawa nafsu adalah kecintaan terhadap sesuatu sehingga kecintaan itu menguasai hatinya. Kecintaan tersebut sering menyeret seseorang untuk melanggar hukum Allah عزّوجلّ. Oleh karena itu, hawa nafsu harus ditundukkan agar bisa tunduk terhadap syari'at Allah عزّوجلّ. Adapun secara istilah syari'at, hawa nafsu adalah kecondongan jiwa terhadap sesuatu yang disukainya sehingga keluar dari batas syari'at.
Syaikhul Islam رحمه الله berkata, "Hawa nafsu asalnya adalah kecintaan jiwa dan kebenciannya. Semata-mata hawa nafsu, yaitu kecintaan dan kebencian yang ada di dalam jiwa tidaklah tercela. Karena terkadang hai itu tidak bisa dikuasai. Namun yang tercela adalah mengikuti hawa nafsu, sebagaimana firman Allah عزّوجلّ:
يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الأرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
Hai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. (QS. Shad/38: 26) (Majmu' Fatawa, 28/132)
Syaikhul Islam رحمه الله juga berkata, "Seseorang yang mengikuti hawa nafsu adalah seseorang yang mengikuti perkataan atau perbuatan yang dia sukai dan menolak perkataan atau perbuatan yang dia benci dengan tanpa dasar petunjuk dari Allah عزّوجلّ" (Majmu' Fatawa, 4/189)
HAWA NAFSU MENGAJAK KESESATAN
Allah عزّوجلّ berfirman:
وَمَا لَكُمْ أَلا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ
Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-An'am/6:119)
Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata, "Ini adalah pembolehan dari Allah عزّوجلّ kepada para hamba-Nya, orang-orang Mukmin untuk memakan sembelihan-sembelihan yang dilakukan dengan menyebut nama Allah عزّوجلّ. Yang terpahami (dari ayat ini) yaitu tidak boleh memakan semua sembelihan yang dilakukan dengan tanpa menyebut nama Allah عزّوجلّ, sebagaimana orang-orang kafir yang musyrik membolehkan mengkonsumsi bangkai dan semua sembelihan (yang dipersembahkan-red) untuk berhala (punden), atau lainnya.
Kemudian Allah عزّوجلّ mendorong para hamba-Nya untuk mengkonsumsi sembelihan-sembelihan yang disembelih dengan menyebut nama Allah عزّوجلّ. Allah عزّوجلّ berfirman, yang artinya, 'Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebutkan nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya'.
Yaitu, kecuali dalam keadaan darurat, maka ketika itu dibolehkan bagi kamu (untuk mengkonsumsi) apa yang kamu dapatkan.
Kemudian Allah عزّوجلّ menjelaskan kebodohan orang-orang musyrik dalam pendapat mereka yang rusak tersebut, yaitu berupa pernyataan yang membolehkan memakan bangkai dan sembelihan-sembelihan yang dilakukan dengan menyebut nama selain nama Allah عزّوجلّ. Allah عزّوجلّ berfirman, yang artinya, 'Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas'. Yaitu: Dia yang lebih mengetahui perbuatan mereka yang melampaui batas, kedustaan mereka, dan kebohongan mereka." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/323)
Termasuk mengikuti hawa nafsu adalah orang yang menolak syari'at setelah penjelasan datang kepadanya. Allah عزّوجلّ berfirman:
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. (QS. Al-Qashshash/28: 50)
Allah عزّوجلّ juga berfirman:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
Katakanlah, "Hai Ahli Kitab! Janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." (QS. Al-Maidah/5: 77)
Syaikhul Islam عزّوجلّ berkata, "Barangsiapa mengikuti hawa nafsu manusia setelah mereka mengetahui agama Islam yang Allah amanahkan kepada Rasul-Nya untuk membawa agama itu dan juga setelah mengetahui petunjuk Allah yang telah dijelaskan kepada para hamba-Nya, berarti dia berada dalam kedudukan ini (yaitu sebagai pengikut hawa nafsu-pen). Oleh karena itu, para Salaf menamakan ahli bid'ah dan orang-orang yang berpecah-belah, orang-orang yang menyelisihi al-Kitab (al-Qur'an) dan Sunnah (al-Hadits) sebagai ahlul ahwa' (orang-orang yang mengikuti hawa nafsu). Karena mereka menerima apa yang mereka sukai dan menolak apa yang mereka benci dengan dasar hawa nafsu (kesenangan semata-pen), tanpa petunjuk dari Allah عزّوجلّ". (Majmu' Fatawa, 4/190)
BAHAYA MENGIKUTI HAWA NAFSU
Orang yang mengikuti hawa nafsu tidak akan mementingkan agamanya dan tidak mendahulukan ridha Allah dan Rasul-Nya. Dia akan selalu menjadikan hawa nafsu menjadi tolok ukurnya.
Syaikhul Islam عزّوجلّ berkata, "Fondasi agama (Islam) adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, mendukung karena Allah dan menjauhi karena Allah, beribadah karena Allah, memohon pertolongan kepada Allah, takut kepada Allah, berharap kepada Allah, memberi karena Allah, dan menghalangi karena Allah. Ini hanya dapat dilakukan dengan mengikuti Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Karena perintah Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah perintah Allah عزّوجلّ, larangannya adalah larangan Allah عزّوجلّ, memusuhinya berarti memusuhi Allah, mentaatinya sama dengan mentaati Allah dan mendurhakainya sama dengan mendurhakai Allah عزّوجلّ.
Bahkan orang yang mengikuti hawa nafsunya telah dibuat buta dan tuli oleh hawa nafsunya. Sehingga dia tidak bisa memperhatikan dan melaksanakan apa yang menjadi hak Allah dan Rasul-Nya dalam hal itu, dan dia tidak mencarinya. Dia tidak ridha karena ridha Allah dan Rasul-Nya, dia tidak marah karena kemarahan Allah dan Rasul-Nya. Tetapi dia ridha jika mendapatkan apa yang diridhai oleh hawa nafsunya, dan marah jika mendapatkan apa yang membuat hawa nafsunya marah". (Minhajus Sunnah an-Nabawiyah, 5/255-256)
Dengan demikian, maka mengikuti hawa nafsu akan menyeret pelaku kepada kesesatan dan kerusakan. Sebab, timbulnya bid'ah adalah hawa nafsu, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam, "Permulaan bid'ah adalah mencela Sunnah (ajaran Nabi) dengan dasar persangkaan dan hawa nafsu (sebagaimana bibit kemunculan golongan Khawarij-pen), sebagaimana Iblis mencela perintah Allah (saat diperintahkan sujud kepada Adam) dengan pikirannya dan hawa nafsunya". (Majmu' al-Fatawa, 3/350)
Nabi صلى الله عليه وسلم juga sudah mengingatkan bahwa mengikuti hawa nafsu akan membawa kehancuran. Beliau صلى الله عليه وسلم bersabda :
ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ وَ ثَلاَثٌ مُنْجِيَاتٌ، فَأَمَا ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوَى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الـمَرْءِ بِنَفْسِهِ
وَ ثَلاَثٌ مُنْجِيَاتٌ: خَشْيَةُ اللهِ فِي السِّرِّ وَالعلانِيةِ وَقَصْدُ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى وَالْعَدْلُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا
Tiga perkara yang membinasakan dan tiga perkara yang menyelamatkan. Adapun tiga perkara yang membinasakan adalah: kebakhilan dan kerakusan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan seseorang yang membanggakan diri sendiri.
Sedangkan tiga perkara yang menyelamatkan adalah takut kepada Allah di waktu sendirian dan dilihat orang banyak, sederhana di waktu kekurangan dan kecukupan, dan (berkata/berbuat) adil di waktu marah dan ridha.
(Hadits ini diriwayatkan dari Sahabat Anas, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, 'Abdullah bin Abi Aufa, dan Ibnu Umar رضي الله عنهم. Hadits ini dinilai sebagai hadits hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 1802 karena banyak jalur periwayatannya).
Demikian juga, bahaya mengikuti hawa nafsu adalah mendatangkan kesusahan dan kesempitan hati. Syaikhul Islam berkata, "Barangsiapa mengikuti hawa nafsunya, seperti mencari kepemimpinan dan ketinggian (dunia-pen), keterikatan hati dengan bentuk-bentuk keindahan. (kecantikan, ketampanan, dan lain-lain-pen), atau (usaha) mengumpulkan harta, di tengah usahanya untuk mendapatkan hal itu dia akan menemui rasa susah, sedih, sakit dan sempit hati, yang tidak bisa diungkapkan. Dan kemungkinan hatinya tidak mudah untuk meninggalkan keinginannya, dan dia tidak mendapatkan apa yang menggembirakannya. Bahkan dia selalu berada di dalam ketakutan dan kesedihan yang terus menerus. Jika dia mencari sesuatu yang dia sukai, maka sebelum dia mendapatkannya, dia selalu sedih dan perih karena belum mendapatkannya. Jika dia sudah mendapatkannya, maka dia takut kehilangan atau ditinggalkan (sesuatu yang dia sukai itu). (Majmu' al-Fatawa, 10/651)
MENUNDUKKAN HAWA NAFSU
Maka untuk meraih keselamatan, orang yang mengikuti hawa nafsu harus mengobati dirinya dengan rasa takut kepada Allah عزّوجلّ sehingga akan menghentikannya dari mengikuti hawa nafsu. Demikian juga perlu diterapi dengan ilmu dan dzikir. Dengan keduanya, maka hawa nafsu akan terpental. Jika rasa takut kepada Allah sudah tertanam di dalam hati, maka hati akan bisa memahami dan melihat kebenaran sebagaimana mata yang melihat benda-benda dengan sinar terang matahari.
Allah عزّوجلّ berfirman:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى. فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya). (QS. An-Nazi'at/79: 40-41)
Semoga Allah selalu membimbing hati kita sehingga sellau mampu menundukkan hawa nafsu dengan sebaik-baiknya. Hanya Allah tempat memohon pertolongan.[]
Publication : 1437 H_2016 M
Jangan Mengikuti Hawa Nafsu
Ustadz Abu Isma'il Muslim al-Atsari حفظه الله
Sumber Majalah As-Sunnah No.10 Th.XIX_ 1437 H / 2016 M
e-Book ini didownload dari www.ibnumajjah.com
Keutamaan Tauhid
A. MAKNA TAUHID
Tauhid, yaitu seorang hamba meyakini bahwa Allah Ta’ala adalah Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam Rububiyah (ketuhanan), Uluhiyah (ibadah), Asma` (nama-nama) dan Sifat-Nya.
Urgensi Tauhid: Seorang hamba meyakini dan mengakui bahwa Allah Ta’ala Maha Esa, Rabb (Tuhan) segala sesuatu dan rajanya. Sesungguhnya hanya Dia yang menciptakan, mengatur alam semesta. Hanya Dia-lah yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya. Dan setiap yang disembah selain-Nya adalah batil. Sesungguhnya Dia bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, Maha Suci dari segala aib dan kekurangan. Dia mempunyai nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang tinggi.
Tauhid merupakan kewajiban pertama yang Allah عزّوجلّwajibkan kepada umat manusia, dan sebaliknya larangan pertama yang Allah larang kepada mereka adalah syirik. Hal ini sebagaimana firman Allahعزّوجلّ:
يَاأَيُّهَاالنَّاسُاعْبُدُوارَبَّكُمُالَّذِيخَلَقَكُمْوَالَّذِينَمِنْقَبْلِكُمْلَعَلَّكُمْتَتَّقُونَ. الَّذِيجَعَلَلَكُمُالأرْضَفِرَاشًاوَالسَّمَاءَبِنَاءًوَأَنْزَلَمِنَالسَّمَاءِمَاءًفَأَخْرَجَبِهِمِنَالثَّمَرَاتِرِزْقًالَكُمْفَلاتَجْعَلُوالِلَّهِأَنْدَادًاوَأَنْتُمْتَعْلَمُونَ
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah/2: 21-22)
B. TAUHID ADALAH PERKARA
YANG PALING PENTING DAN UTAMA
Tanpa diragukankan lagi bahwa tauhid adalah hal yang paling penting yang harus diperhatikan oleh setiap hamba yang menginginkan kebahagian hidup di dunia dan akhirat, karena tauhid adalah hak Allah Ta’ala yang wajib ditunaikan oleh setiap hamba. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bertanya pada Mu’adz bin Jabalرضي الله عنه,
يَامُعَاذُهَلْتَدْرِيحَقَّاللَّهِعَلَىعِبَادِهِ؟قُلْتُ:اللَّهُوَرَسُولُهُأَعْلَمُ،قَالَ:فَإِنَّحَقَّاللَّهِعَلَىالْعِبَادِأَنْيَعْبُدُوهُوَلَايُشْرِكُوابِهِشَيْئًا
“Wahai Mu’adz apakah hak Allah atas hamba-Nya?” Jawab Mu’adz, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”, lalu Rasulullah menyatakan bahwa “Hak Allah atas hamba adalah seorang hamba beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya (dalam beribadah) dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Tauhid itu pula yang menjadi tujuan dan hikmah teragung diciptakannya jin dan manusia, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَمَاخَلَقْتُالْجِنَّوَالْإِنسَإِلَّالِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (menyembah) kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzaariyaat/51: 56)
Seorang hamba memang sudah seharusnya mempelajari tauhid, memahaminya, dan mengamalkan konsekuensinya. Berikut ini akan disebutkan tentang beberapa keutamaan tauhid selain yang telah di sebutkan di atas.
C. BEBERAPA KEUTAMAAN TAUHID
Allah tidaklah mewajibkan suatu perkara, melainkan pasti padanya terdapat keutamaan-keutamaan yang sangat mulia. Begitu pula dengan “Tauhid” yang merupakan paling wajibnya perkara dari perkara-perkara yang paling wajib, pasti mempunyai berbagai keutamaan. Di antara keutamaan-keutamaan tauhid itu ialah :
1. Tauhid adalah tingkat keimanan yang tertinggi
Rasulullah صلى الله عليه وسلمbersabda :
الْإِيمَانُبِضْعٌوَسِتُّونَشُعْبَةًفَأَفْضَلُهَاقَوْلُلَاإِلَهَإِلَّااللَّهُوَأَدْنَاهَاإِمَاطَةُالْأَذَىعَنْالطَّرِيقِ
“Iman itu memiliki enam puluh sekian cabang, paling tingginya adalah perkataan / ucapan Laa Ilaaha Illallah dan paling rendahnya menyingkirkan gangguan dari jalan.” (HR. Muslim)
Perlu diketahui bahwa Laa Ilaaha Illallah tidak cukup hanya diucapkan di lisan saja. Akan tetapi harus bersumber dari hati yang ikhlas dan kemudian dibuktikan dengan pengamalan dari apa yang dikandung oleh Laa Ilaaha Illallah yaitu memurnikan ibadah hanya untuk Allah semata dan menjauhi segala bentuk kesyirikan. Sebagaimana sabda Nabiصلى الله عليه وسلم:
فَإِنَّاللهَحَرَّمَعَلَىالنَّارِمَنْقَالَلاَإِلهَإِلاّاللهيَبْتَغِيبِذَلِكَوَجْهَاللهِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi neraka orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan mengharap wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Tauhid sebagai syarat utama diterimanya semua amal ibadah
Allah عزّوجلّberfirman :
ذَلِكَهُدَىاللَّهِيَهْدِيبِهِمَنْيَشَاءُمِنْعِبَادِهِوَلَوْأَشْرَكُوالَحَبِطَعَنْهُمْمَاكَانُوايَعْمَلُونَ
“Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’aam/6: 88)
Amalan-amalan ibadah orang musyrik tidak akan diterima oleh Allah عزّوجلّdan sebaliknya orang Muwahhid (ahli tauhid) akan diterima oleh Allah amalan ibadahnya.
3. Tauhid merupakan sebab utama dihapuskannya dosa
Hal ini didasarkan kepada firman Allah عزّوجلّ:
إِنَّاللَّهَلايَغْفِرُأَنْيُشْرَكَبِهِوَيَغْفِرُمَادُونَذَلِكَلِمَنْيَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”.(QS. An. Nisaa’/4: 48, 116)
4. Orang yang benar-benar merealisasikan tauhid akan masuk jannah (surga) tanpa hisab
Ketika para shahabat bertanya-tanya tentang 70.000 orang dari umat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلمyang masuk jannah tanpa hisab dan tanpa adzab, maka Rasulullah bersabda :
هُمُالَّذِينَلاَيَسْتَرْقُونَوَلاَيَكْتَوُونَوَلاَيَتَطَيَّرُونَوَعَلَىرَبِّهِمْيَتَوَكَّلُونَ
“… mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta di-kay (pengobatan dengan menggunakan api) dan tidak mengundi nasib dengan burung dan sejenisnya dan mereka bertawakkal hanya kepada Allah.” (HR. At Tirmidzi)
5. Orang yang tauhidnya benar akan masuk surga
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
مَنْلَقِيَاللهَلاَيُشْرِكُبِهشَيْئًادَخَلَالْجَنَّةَ
“Barangsiapa bertemu Allah (meninggal dunia) dalam keadaan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu (apapun), niscaya dia akan masuk surga.” (HR. Muslim)
Adapun masuknya orang yang tidak berbuat syirik ke dalam surga maka itu merupakan hal yang pasti. Akan tetapi jika dia bukan pelaku dosa besar yang terus menerus dilakukan sampai meninggal dunia maka dia akan langsung masuk surga. Sedangkan jika dia pelaku dosa besar hingga akhir hayatnya dan belum bertaubat maka yang demikian di bawah kehendak Allah عزّوجلّ. Jika Allah mengampuni, maka akan masuk surga secara langsung tanpa diadzab. Dan jika tidak diampuni, maka akan diadzab terlebih dahulu kemudian dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. (Fathul Majid hal. 84).
6. Tauhid merupakan sumber keamanan
Sebagaimana firman Allah :
الَّذِينَآمَنُواوَلَمْيَلْبِسُواإِيمَانَهُمْبِظُلْمٍأُولَئِكَلَهُمُالأمْنُوَهُمْمُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’aam/6: 82)
Berkata Ibnu Katsir asy-Syafi’i رحمه الله: “Orang-orang yang mengikhlaskan ibadah mereka hanya untuk Allah saja dan mereka tidak menyekutukan Allah sedikitpun, mereka itu akan mendapatkan keamanan pada hari kiamat dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk di dunia dan akhirat.” (Fathul Majid hal. 36)
Yang dimaksud dengan kedhaliman pada ayat di atas adalah syirik sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud رضي الله عنه:
Tatkala turun ayat ini, para shahabat berkata : “Siapa di antara kami yang tidak pernah mendhalimi dirinya ?” Kemudian Rasulullah bersabda: “Bukan demikian maksudnya, apakah kalian tidak mendengar perkataan Luqman: sesungguhnya kesyirikan itu adalah kedhaliman yang besar.” (HR. Al Bukhari)
Itulah di antara keutamaan-keutamaan tauhid yang dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
D. BAGAIMANAKAH BAHAYA SYIRIK?
Syirik merupakan lawan dari tauhid. Oleh karena itu di saat tauhid mempunyai banyak keutamaan maka syirik pun sangat berbahaya dan mempunyai banyak mudharat. Di antaranya adalah :
1. Dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah
Sebagaimana firman Allah عزّوجلّ:
إِنَّاللَّهَلايَغْفِرُأَنْيُشْرَكَبِهِوَيَغْفِرُمَادُونَذَلِكَلِمَنْيَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. (QS. An. Nisaa’/4: 48, 116)
2. Kesyirikan adalah kedhaliman yang paling besar
Firman Allah عزّوجلّ:
إِنَّالشِّرْكَلَظُلْمٌعَظِيمٌ
“Sesungguhnya kesyirikan adalah kedhaliman yang besar.” (QS. Luqman/31: 13)
3. Orang yang meninggal dunia dalam keadaan musyrik akan masuk neraka dan kekal di dalamnya
إِنَّهُمَنْيُشْرِكْبِاللَّهِفَقَدْحَرَّمَاللَّهُعَلَيْهِالْجَنَّةَوَمَأْوَاهُالنَّارُوَمَالِلظَّالِمِينَمِنْأَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al-Ma-idah/5: 72)
Rasulullah صلى الله عليه وسلمjuga bersabda :
مَنْمَاتَوَهُوَيَدْعُومِنْدُونِاللهِنِدًّادَخَلَالنَّارَ
“Barangsiapa meninggal dunia dan dia berdo’a kepada selain Allah niscaya dia masuk neraka.” (HR. Al Bukhari)
4. Kesyirikan penyebab terpecah belah belahnya umat Islam
Firman Allah عزّوجلّ:
وَلاتَكُونُوامِنَالْمُشْرِكِينَ. مِنَالَّذِينَفَرَّقُوادِينَهُمْوَكَانُواشِيَعًاكُلُّحِزْبٍبِمَالَدَيْهِمْفَرِحُونَ
“Dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Ruum/30: 31-32)
Setelah kita mengetahui betapa pentingnya perkara tauhid dan begitu bahayanya perbuatan syirik, maka kami mengajak kepada para da’i/mubaligh agar mengutamakan dalam da’wahnya perkara tauhid dan memperingatkan umat dari bahaya syirik. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلمdan para shahabat beliau, bahkan para rasul seluruhnya. Allah عزّوجلّberfirman:
وَلَقَدْبَعَثْنَافِيكُلِّأُمَّةٍرَّسُولاًأَنِاعْبُدُواْاللّهَوَاجْتَنِبُواْالطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. (QS. An-Nahl/16: 36)
Wallahu A’lam Bish Shawab.[]
Publication : 1437 H_2016 M
Keutamaan Tauhid dan Bahaya Syirik
Oleh : Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc, MA حفظه الله
Disalin dari Blog Penulis di www.abufawaz.wordpress.com
e-Book ini didownload dari www.ibnumajjah.com
Langganan:
Postingan (Atom)