Kaidah 2: Dzikir[1] di setiap Keadaan
Dzikir disyariatkan dalam setiap keadaan. Allah ta’ala berfirman:
فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُم
“Ingatlah Allah diwaktu berdiri, diwaktu duduk dan diwaktu berbaring.” (Qs. An-Nisaa': 103)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yaitu pada seluruh keadaan kalian.” (Tafsiir Ibnu Katsir, 1/521.)
Akan tetapi, hal ini dikecualikan dalam dua keadaan:
Pertama : Ketika buang hajat
Kedua: Ketika bersenggama dengan istri
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Dibenci berdzikir kepada Allah sedangkan ia sedang buang hajat atau sedang bersenggama dengan istrinya. Allah itu Maha Mulia, maka harus dimuliakan.“(HR Ibnu Abi Syaibah No. 1220)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Akan tetapi disyari’atkan berdzikir sebelum dan sesudah buang hajat. Demikian pula disyariatkan ketika akan bersenggama. Bukan saat buang hajat atau ketika bersenggama.”(Al-Wabilush Shayyib,hal.82)
Kaidah 3: Dzikir Dalam Keadaan Suci
Tidak disyaratkan thaharah (suci dari hadats) untuk berdzikir. Akan tetapi dzikir dalam keadaan suci adalah lebih utama.
Dalil bolehnya berdzikir dalam keadaan tidak suci adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha yang berbunyi:
كان النبيّ يذكر الله على كلّ أحيانه
“Adalah Nabi berdzikir kepada Allah disetiap keadaan.” (HR. Muslim No. 373)
Adapu hadits yang berbunyi, “Sungguh aku benci untuk berdzikir kepada Allah kecuali dalam keadaan suci.”(HR. Abu Dawud No. 17, Ibnu Majah No. 350, an-Nasaa-i [I/37]. Dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahiihah No. 843).
Hadits ini hanya menunjukkan keutamaan saja, bukan berarti orang yang tidak suci tidak boleh berdzikir.
Imam Ibnu Hibban berkata, “Hadits ini sangat jelas, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam benci untuk berdzikir kecuali dalam keadaan suci. Yang demikian itu karena berdzikir dalam keadaan suci adalah lebih utama. Bukan berarti hadits ini berisi larangan bahwa seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan tidak suci adalah tidak boleh. Sebab, Rasulullah selalu berdzikir dalam setiap keadaan.” (Shahih Ibni Hibban, 2/88)
****
Sumber: Keajaiban Dzikir Pagi & Petang (judul asli: Syarh Hisnul Muslim minal Adzkaaril Kitaab was Sunnah: Adzkaarush Shabaah wal Masaa’). Majdi bin ‘Abdil Wahhab Ahmad. Penerbit: Media Tarbiyah. Bogor. Dengan sedikit tambahan catatan kaki.
Artikel wanitasalihah.com
________
[1] Dzikir yang dimaksudkan disini adalah dzikir mutlak yaitu dzikir yang tidak terikat dengan waktu dan tempat maka disyariatkan dibaca setiap waktu. Adapun jika dzikir yang terikat waktu, tempat tertentu misalnya dzikir setelah shalat, dzikir pagi, dzikir sore disebut dzikir muqoyyad. Yaitu dzikir yang tidak boleh diamalkan kecuali dengan tata cara dzikir di waktu dan tempat yang ditentukan oleh syariat. Allahua’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar