Rabu, 01 Juni 2016
Al-Qaabidh dan Al-Baasith
PENDAHULUAN
Di antara nama Allah Azza wa Jalla yang jarang disebut dan diingat orang adalah al-Qâbidh dan al-Bâsith. Kalaupun ada yang menyebutnya, maka hanya dalam bentuk main-main karena disenandungkan dalam suatu nyanyian bermusik. Padahal kedua nama itu termasuk al-Asmâ’ al-Husnâ.
Mestinya nama-nama Allah disebut dengan sungguh-sungguh, khusyu’, tawadhu’ dan penuh penghormatan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِـهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْـمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Hanya milik Allah Asma-ul Husna (nama-nama yang sangat indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu dan tinggalakanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. al-A’râf/7:180)
DALIL NAMA ALLAH: AL-QÂBIDH DAN AL-BÂSITH
Dalil yang membuktikan al-Qâbidh dan al-Bâsith sebagai nama Allah ialah sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu. Ia berkata:
غَلاَ السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَقَالُوْا : يَا رَسُوْلَ الله! سَعِّرْ لَنَا! فَقَالَ : إِنَّ اللهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ، اَلْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ (عند الترمذي: الرَّزَّاقُ) وَإِنِّى لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللهَ (عند الترمذي وابن ماجه : أن أَلْقَى رَبِّي) وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يُطَالِبُنِي بِمَظْلَمَةٍ فِى دَمٍ وَلاَ مَالٍ (عند الترمذي: يَطْلُبُنِي). أخرجه أبو داود والترمذي وابن ماجه
Harga barang-barang pernah menjadi mahal pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karenanya para sahabat berkata: Ya Rasulallah, tetapkanlah harga untuk kami. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah-lah yang membuat ketetapan harga, Dia adalah al-Qâbidh (Maha menahan/ menyempitkan rizki), al-Bâsith (Maha membentangkan/ meluaskan rizki), ar-Râziq (Maha menganugerahkan rizki) –Dalam riwayat Tirmidzi, dengan lafal: ar-Razzâq-. Dan sesungguhnya aku berharap menjumpai Allah dalam keadaan tiada seorangpun yang menuntut kepadaku (di hadapan Allah) karena suatu kezaliman yang aku lakukan, baik berkaitan dengan darah maupun harta. (HSR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Banyak ulama memasukkan kedua nama ini dalam himpunan nama-nama Allah Azza wa Jalla yang mereka kumpulkan.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah juga memasukkannya ke dalam himpunan nama-nama Allah yang beliau kumpulkan dalam kitabnya al-Qawâ’id al-Mutslâ Fî Shifâtillâh wa Asmâ’ihi al-Husnâ.
MAKNA NAMA ALLAH: AL-QÂBIDH DAN AL-BÂSITH
DAN PENGAMALAN MAKNANYA
Menurut Abu ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim Abadiy, pensyarah Sunan Abu Dawud, juga Mubarakfûriy- pensyarah Jâmi’ at-Tirmidzi, ma’na Al-Qâbidh dan al-Bâsith ialah: Allah Maha Menyempitkan dan Maha meluaskan rizki serta lainnya bagi siapa yang dikehendaki, menurut cara yang dikehendaki dan kapanpun Dia kehendaki.
Karena al-Qâbidh dan al-Bâsith merupakan nama Allah Azza wa Jalla, maka sepantasnya setiap muslim mengenalnya dan memahami serta menghayati ma’nanya. Yaitu bahwa setiap rizki dan setiap kemudahan dalam hal apa saja, hanya datang dari Allah Azza wa Jalla. Begitu pula ketika seseorang mengalami kesulitan, krisis rizki dan tidak mendapatkan seperti yang diharapkannya, atau tidak mendapatkan kemudahan, semua itu tidak lain hanya Allah-lah yang menetapkannya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ
Allah meluaskan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. (QS. ar-Ra’d/13:26)
وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Dan Allah menyempitkan serta melapangkan (rizki) dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. (QS. al-Baqarah/2:245)
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ
Sesungguhnya Rabbmu melapangkan rizki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya. (QS. al-Isrâ’/17:30)
Dan masih banyak ayat-ayat al-Qur’an lainnya yang menerangkan bahwa Allah-lah yang melapangkan rizki atau menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki.
Sepantasnya pula, setiap muslim menjaga, menghormati dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyebut atau mengingat nama itu sesuai dengan tuntutan ma’nanya, baik doa dalam arti memohon maupun doa dalam arti melakukan peribadatan-peribadatan lain. Sebab doa memiliki dua pengertian, pertama: memohon dan kedua: melakukan peribadatan selain memohon, seperti berdiri atau duduk dalam shalat atau dzikir-dzikir yang tidak bersifat meminta.
Artinya, ketika seseorang memohon agar Allah Azza wa Jalla memberikan kemudahan dan kelapangan hidup yang baik, bersih dan halal serta menjauhkannya dari kesulitan rizki, maka tidak ada salahnya kalau ia menyebut-nyebut nama al-Qâbidh dan al-Bâsith.
Atau ketika menjalani kehidupan, baik dalam keadaan sempit maupun dalam keadaan lapang, ia selalu tetap konsisten beribadah kepada Allah, sebab ia selalu ingat bahwa di antara nama Allah adalah nama al-Qâbidh dan al-Bâsith. Di saat lapang ia ingat bahwa kelapangan yang diperolehnya semata karena Allah yang bernama al-Bâsith. Sehingga ia semakin bersemangat dalam beribadah, semakin bersyukur atas segala karuniaNya dan semakin bersemangat memohon kelapangan rizki yang halal. Pada saat yang sama iapun menyadari dan siap jika suatu ketika Allah menyempitkan rizki baginya karena Allah adalah al-Qâbidh, sehingga ia tidak kaget.
Maka di saat ia benar-benar dalam keadaan sempit, ia bersabar, bertawakkal dan banyak memohon pertolongan kepada Allah. Ia tetap yakin bahwa Allah yang bernama al-Qâbidh dan al-Bâsith, suatu ketika akan melepaskannya dari kesempitan yang menimpanya dan dengan itu ia juga mengharapkan pahala dari Allah.
Dan apabila selalu demikian keadaannya, berarti ia telah merealisasikan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang terdapat dalam firmanNya:
وَلِلَّهِ الْأَسْـمَاءُ الْـحُسْنَى فَادْعُوهُ بِـهَا
Hanya milik Allah Asma-ul Husna (nama-nama yang sangat indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu. (QS. al-A’râf/7:180)
Berarti ia telah berdoa, dalam arti seluas-luasnya kepada Allah, meliputi doa permohonan dan doa peribadatan lain, dengan menyebut atau mengingat nama-nama Allah sesuai dengan tuntutan ma’nanya. Wallahu A’lam.
Yang tidak kalah pentingnya, tidak mendendangkan Asmâ’ul Husnâ dalam lagu-lagu dan main-main, apalagi dalam suasana ikhtilâth (campur) antara laki-laki dan perempuan. Tetapi dengan sungguh-sungguh, khusyu’ dan tawadhu’. Dan tidak harus pula menyebutkan Asmâ’ul husnâ itu secara keseluruhan sebanyak sembilan puluh sembilan nama secara berurutan. Sebab tidak ada nash yang shahih yang menyebutkan sembilan puluh sembilan nama itu secara berurut. Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Tidak benar adanya penentuan urut-urutan nama-nama Allah ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang penentuan urut-urutan ini lemah”. []
Senin, 30 Mei 2016
Makna Dan Cakupan Ibadah
IBADAH ADALAH HIKMAH PENCIPTAAN
Allah عزّوجلّ telah memberitakan kepada kita bahwa Dia menciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepada-Nya. Allah عزّوجلّ berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat/51:56)
Oleh karena itu Allah memberikan ujian dengan perintah ibadah, melaksanakan perintah, dan menjauhi segala larangan-Nya. Allah عزّوجلّ berfirman:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا
(Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Al-Mulk/67: 2)
Maka semua yang berakal, dari kalangan jin dan manusia, semenjak dewasa sampai meninggal dunia dia berada dalam ujian dan cobaan.
Kalau kita memahami hal ini, maka alangkah pentingnya kita mengetahui makna ibadah dan cakupannya, sehingga kita bisa mengisi hidup kita dengan ibadah untuk bisa meraih ridha Allah عزّوجلّ.
TA'RIF IBADAH SECARA BAHASA DAN ISTILAH
Ibadah secara bahasa adalah ketundukan dan kerendahan atau kepatuhan, seperti perkataan bangsa Arab, "thariq mu'abbad" artinya jalan yang merendah karena diinjak oleh telapak kaki. Atau seperti perkataan "ba'ir mu'abbad" artinya onta yang patuh.
Az-Zajaj رحمه الله (wafat 311 H), seorang ahli bahasa Arab, berkata, "Ibadah dalam bahasa maknanya ketaatan disertai ketundukan". (Lisanul 'Arab, bab: 'abada)
Ar-Raghib al-Ash-bihani رحمه الله (wafat 425 H), seorang ahli bahasa Afab, berkata, '"Ubudiyah adalah menampakkan ketundukan, sedangkan ibadah lebih tinggi darinya, karena ibadah adalah puncak ketundukan". (Mufradat Alfazhil Qur'an, hlm. 542)
Sedangkan, ibadah secara istilah, para ulama telah menjelaskannya dengan ungkapan yang berbeda-beda, namun intinya sama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله (wafat 728 H) berkata, "Ibadah adalah satu istilah yang menghimpun seluruh apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan dan perbuatan, yang lahir dan yang batin." (Al-'Ubudiyah, hlm: 23, dengan penelitian: Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi hafizhahullah)
Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ini mencakup seluruh jenis ibadah dalam agama Islam.
CAKUPAN IBADAH
Ibadah dalam agama Islam mencakup ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.
1) Ibadah Mahdhah
Ibadah mahdhah adalah perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan yang asalnya memang merupakan ibadah, berdasarkan nash atau lainnya yang menunjukkan perkataan dan perbuatan tersebut haram dipersembahkan kepada selain Allah عزّوجلّ.
Dalam kitab ad-Dinul Khalish, 1/215, disebutkan pengertian ibadah mahdhah, "Segala yang diperintahkan oleh Pembuat syari'at (yaitu: Allah عزّوجلّ-pen), baik berupa perbuatan atau perkataan hamba yang dikhususkan kepada keagungan dan kebesaran Allah عزّوجلّ."
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله menyatakan, "Wudhu adalah ibadah, karena ia tidak diketahui kecuali dari Pembuat syari'at, dan semua perbuatan yang tidak diketahui kecuali dari Pembuat syari'at, maka itu adalah ibadah, seperti shalat dan puasa, dan karena hal itu juga berkonsekuensi pahala." (Al-Mustadrak 'ala Majmu' al-Fatawa, 3/29; Mukhtashar al-Fatawa al-Mishriyah, hlm. 28)
Maka semua perbuatan atau perkataan yang ditunjukkan oleh nash atau ijma' atau lainnya, atas kewajiban ikhlas padanya, maka itu adalah ibadah dari asal disyari'atkannya, sedangkan yang tidak demikian maka itu bukan ibadah dari asal disyari'atkannya, namun bisa menjadi ibadah dengan niat yang baik, sebagaimana penjelasan berikutnya.
Ibadah mahdhah ini mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Ibadah hati yaitu keyakinan dan amalan
Ibadah hati terbagi menjadi dua bagian:
1. Qaulul qalbi (perkataan hati), dan dinamakan i'tiqad (keyakinan; kepercayaan). Yaitu keyakinan bahwa tidak ada Rabb (Pencipta; Pemilik; Penguasa) selain Allah, dan bahwa tidak ada seorangpun yang berhak diibadahi selain Dia, mempercayai seluruh nama-Nya dan sifat-Nya, mempercayai para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir, taqdir baik dan buruk, dan lainnya.
2. 'Amalul qalbi (amalan hati), di antaranya ikhlas, mencintai Allah عزّوجلّ, mengharapkan pahala-Nya, takut terhadap siksa-Nya, tawakkal kepada-Nya, bersabar melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya dan lainnya.
b. Ibadah perkataan atau lisan
Di antaranya adalah mengucapkan kalimat tauhid, membaca al-Qur'an, berdzikir kepada Allah dengan membaca tasbih, tahmid, dan lainnya; berdakwah untuk beribadah kepada Allah, mengajarkan ilmu syariat, dan lainnya.
c. Ibadah badan
Di antaranya adalah melaksanakan shalat, bersujud, berpuasa, haji, thawaf, jihad, belajar ilmu syari'at, dan lainnya.
d. Ibadah harta
Di antaranya adalah membayar zakat, shadaqah, menyembelih kurban, dan lainnya.
2) Ibadah Ghairu Mahdhah
Ibadah ghairu mahdhah adalah perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan yang asalnya bukan ibadah, akan tetapi berubah menjadi ibadah dengan niat yang baik.
Namun, jika perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan ini dilakukan dengan niat yang buruk akan berubah menjadi kemaksiatan, dan pelakunya mendapatkan dosa. Seperti, melakukan jual beli untuk mendapatkan harta dengan niat untuk melakukan maksiat; makan minum agar memiliki kekuatan untuk mencuri; mempelajari ilmu yang mubah, seperti kedokteran atau teknik, dengan niat untuk mendapatkan pekerjaan yang dengan pekerjaan itu dia bisa melakukan perbuatan maksiat.
Jika seseorang melakukan perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan ini dengan tanpa niat yang baik atau niat buruk, maka perbuatan tersebut tetap pada hukum asalnya, yaitu mubah.
Ibadah ghairu mahdhah ini mencakup hal-hal berikut:
a. Melaksanakan wajibat (perkara-perkara yang diwajibkan) dan mandubat (perkara-perkara yang dianjurkan) yang asalnya tidak masuk ibadah, dengan niat mencari wajah Allah
Misalnya:
• Mengeluarkan harta untuk keperluan diri sendiri, seperti makan, minum, dan sebagainya, dengan niat menguatkan badan dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah عزّوجلّ.
• Berbakti kepada orang tua dengan niat melaksanakan perintah Allah عزّوجلّ.
• Memberi nafkah kepada anak dan istri dengan niat melaksanakan perintah Allah عزّوجلّ.
• Mendidik anak dan membiayai sekolahnya dengan niat agar mereka bisa beribadah kepada Allah عزّوجلّ dengan baik.
• Menikah dengan niat menjaga kehormatan diri sehingga tidak terjatuh ke dalam zina.
• Memberi pinjaman hutang dengan niat menolong dan mencari pahala Allah عزّوجلّ.
• Memberi hadiah kepada orang dengan niat mencari wajah Allah عزّوجلّ.
• Memuliakan tamu dengan niat, melaksanakan perintah Allah عزّوجلّ.
• Memberi tumpangan kepada seorang yang tua agar sampai ke tempat tujuannya dengan niat mencari wajah Allah عزّوجلّ.
Di antara dalil yang menunjukkan hal itu sebagai ibadah adalah hadits Nabi صلى الله عليه وسلم:
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ يـَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ
Dari Abu Mas'ud رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم, Beliau bersabda, "Jika seorang laki-laki mengeluarkan nafkah kepada keluarganya yang dia mengharapkan wajah Allah dengannya, maka itu shadaqah baginya". (HR. Al-Bukhari, no. 55)
Dalam hadits lain diriwayatkan:
عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِـهَا وَجْهَ اللهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ
Dari Sa'ad bin Abi Waqqash رضي الله عنه , bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, "Sesungguhnya engkau tidak mengeluarkan nafkah yang engkau mencari wajah Allah dengan-Nya kecuali engkau diberi pahala padanya, termasuk apa yang engkau taruh di mulut istrimu". (HR. Al-Bukhari, no. 56)
b. Meninggalkan muharramat (perkara-perkara yang diharamkan) untuk mencari wajah Allah عزّوجلّ.
Termasuk dalam hal ini adalah meninggalkan riba, meninggalkan perbuatan mencuri, meninggalkan perbuatan penipuan, dan perkara-perkara yang diharamkan lainnya. Jika seorang Muslim meninggalkannya karena mencari pahala Allah عزّوجلّ, takut terhadap siksa-Nya, maka itu menjadi ibadah yang berpahala.
Namun jika seorang Muslim meninggalkan suatu perbuatan maksiat karena tidak mampu melakukannya, atau karena takut terhadap had dan hukuman, atau tidak ada keinginan, atau sama sekali tidak pernah memikirkannya, maka dia tidak mendapatkan pahala.
Dalilnya adalah hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَقُولُ اللَّهُ: إِذَا أَرَادَ عَبْدِي أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً فَلَا تَكْتُبُوهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَا فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا بِمِثْلِهَا وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِي فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ
Dari Abu Hurairah رحمه الله, bahwa Rasululldh صلى الله عليه وسلم bersabda, "Allah berfirman: Jika hamba-Ku berkeinginan melakukan keburukan, maka janganlah kamu menulisnya sampai dia melakukannya. Jika dia telah melakukannya, maka tulislah dengan semisalnya. Dan jika dia meninggalkannya karena Aku maka tulislah satu kebaikan untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, kemudian dia tidak melakukannya, maka tulislah satu kebaikan untuknya. Jika dia telah melakukannya, maka tulislah baginya sepuluh kalinya sampai 700 kali". (HR. Al-Bukhari, no. 7501)
Melakukan mubahat (perkara-perkara yang dibolehkan) untuk mencari wajah Allah عزّوجلّ.
Di antaranya tidur, makan, menjual, membeli, dan usaha lainnya dalam rangka mencari rezeki. Semua ini dan yang semacamnya hukum asalnya adalah mubah. Jika seorang Muslim melakukannya dengan niat menguatkan diri untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah, maka hal itu menjadi ibadah yang berpahala.
Dalil adalah hadits Abu Mas'ud dan Sa'ad yang telah lewat. Demikian juga perkataan Mu'adz bin Jabal, ketika ditanya oleh Abu Musa al-Asy'ari, "Bagaimana engkau membaca al-Qur'an?" Beliau رضي الله عنه menjawab:
أَنَامُ أَوَّلَ اللَّيْلِ، فَأَقُومُ وَقَدْ قَضَيْتُ جُزْئِي مِنْ النَّوْمِ، فَأَقْرَأُ مَا كَتَبَ اللَّهُ لِي، فَأَحْتَسِبُ نَوْمَتِي كَمَا أَحْتَسِبُ قَوْمَتِي
Aku tidur di awal malam, lalu aku bangun dan aku telah memberikan bagian tidurku, lalu aku membaca apa yang Allah takdirkan untukku. Sehingga aku mengharapkan pahala pada tidurku, sebagaimana aku mengharapkan pahala pada berdiri (shalat) ku". (HR. Al-Bukhari, no. 4341)
Ini semua menunjukkan bahwa ibadah mencakup seluruh sisi kehidupan manusia. Semoga Allah memberikan kemudahan dan kemampuan kepada kita untuk beribadah kepada-Nya dengan sebaik-baiknya.[]
Jumat, 27 Mei 2016
Jangan Ikuti Hawa Nafsu
MUQODDIMAH
Secara bahasa, hawa nafsu adalah kecintaan terhadap sesuatu sehingga kecintaan itu menguasai hatinya. Kecintaan tersebut sering menyeret seseorang untuk melanggar hukum Allah عزّوجلّ. Oleh karena itu, hawa nafsu harus ditundukkan agar bisa tunduk terhadap syari'at Allah عزّوجلّ. Adapun secara istilah syari'at, hawa nafsu adalah kecondongan jiwa terhadap sesuatu yang disukainya sehingga keluar dari batas syari'at.
Syaikhul Islam رحمه الله berkata, "Hawa nafsu asalnya adalah kecintaan jiwa dan kebenciannya. Semata-mata hawa nafsu, yaitu kecintaan dan kebencian yang ada di dalam jiwa tidaklah tercela. Karena terkadang hai itu tidak bisa dikuasai. Namun yang tercela adalah mengikuti hawa nafsu, sebagaimana firman Allah عزّوجلّ:
يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الأرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
Hai Daud! Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. (QS. Shad/38: 26) (Majmu' Fatawa, 28/132)
Syaikhul Islam رحمه الله juga berkata, "Seseorang yang mengikuti hawa nafsu adalah seseorang yang mengikuti perkataan atau perbuatan yang dia sukai dan menolak perkataan atau perbuatan yang dia benci dengan tanpa dasar petunjuk dari Allah عزّوجلّ" (Majmu' Fatawa, 4/189)
HAWA NAFSU MENGAJAK KESESATAN
Allah عزّوجلّ berfirman:
وَمَا لَكُمْ أَلا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ وَإِنَّ كَثِيرًا لَيُضِلُّونَ بِأَهْوَائِهِمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِالْمُعْتَدِينَ
Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-An'am/6:119)
Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata, "Ini adalah pembolehan dari Allah عزّوجلّ kepada para hamba-Nya, orang-orang Mukmin untuk memakan sembelihan-sembelihan yang dilakukan dengan menyebut nama Allah عزّوجلّ. Yang terpahami (dari ayat ini) yaitu tidak boleh memakan semua sembelihan yang dilakukan dengan tanpa menyebut nama Allah عزّوجلّ, sebagaimana orang-orang kafir yang musyrik membolehkan mengkonsumsi bangkai dan semua sembelihan (yang dipersembahkan-red) untuk berhala (punden), atau lainnya.
Kemudian Allah عزّوجلّ mendorong para hamba-Nya untuk mengkonsumsi sembelihan-sembelihan yang disembelih dengan menyebut nama Allah عزّوجلّ. Allah عزّوجلّ berfirman, yang artinya, 'Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebutkan nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya'.
Yaitu, kecuali dalam keadaan darurat, maka ketika itu dibolehkan bagi kamu (untuk mengkonsumsi) apa yang kamu dapatkan.
Kemudian Allah عزّوجلّ menjelaskan kebodohan orang-orang musyrik dalam pendapat mereka yang rusak tersebut, yaitu berupa pernyataan yang membolehkan memakan bangkai dan sembelihan-sembelihan yang dilakukan dengan menyebut nama selain nama Allah عزّوجلّ. Allah عزّوجلّ berfirman, yang artinya, 'Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas'. Yaitu: Dia yang lebih mengetahui perbuatan mereka yang melampaui batas, kedustaan mereka, dan kebohongan mereka." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/323)
Termasuk mengikuti hawa nafsu adalah orang yang menolak syari'at setelah penjelasan datang kepadanya. Allah عزّوجلّ berfirman:
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. (QS. Al-Qashshash/28: 50)
Allah عزّوجلّ juga berfirman:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ
Katakanlah, "Hai Ahli Kitab! Janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." (QS. Al-Maidah/5: 77)
Syaikhul Islam عزّوجلّ berkata, "Barangsiapa mengikuti hawa nafsu manusia setelah mereka mengetahui agama Islam yang Allah amanahkan kepada Rasul-Nya untuk membawa agama itu dan juga setelah mengetahui petunjuk Allah yang telah dijelaskan kepada para hamba-Nya, berarti dia berada dalam kedudukan ini (yaitu sebagai pengikut hawa nafsu-pen). Oleh karena itu, para Salaf menamakan ahli bid'ah dan orang-orang yang berpecah-belah, orang-orang yang menyelisihi al-Kitab (al-Qur'an) dan Sunnah (al-Hadits) sebagai ahlul ahwa' (orang-orang yang mengikuti hawa nafsu). Karena mereka menerima apa yang mereka sukai dan menolak apa yang mereka benci dengan dasar hawa nafsu (kesenangan semata-pen), tanpa petunjuk dari Allah عزّوجلّ". (Majmu' Fatawa, 4/190)
BAHAYA MENGIKUTI HAWA NAFSU
Orang yang mengikuti hawa nafsu tidak akan mementingkan agamanya dan tidak mendahulukan ridha Allah dan Rasul-Nya. Dia akan selalu menjadikan hawa nafsu menjadi tolok ukurnya.
Syaikhul Islam عزّوجلّ berkata, "Fondasi agama (Islam) adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah, mendukung karena Allah dan menjauhi karena Allah, beribadah karena Allah, memohon pertolongan kepada Allah, takut kepada Allah, berharap kepada Allah, memberi karena Allah, dan menghalangi karena Allah. Ini hanya dapat dilakukan dengan mengikuti Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Karena perintah Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah perintah Allah عزّوجلّ, larangannya adalah larangan Allah عزّوجلّ, memusuhinya berarti memusuhi Allah, mentaatinya sama dengan mentaati Allah dan mendurhakainya sama dengan mendurhakai Allah عزّوجلّ.
Bahkan orang yang mengikuti hawa nafsunya telah dibuat buta dan tuli oleh hawa nafsunya. Sehingga dia tidak bisa memperhatikan dan melaksanakan apa yang menjadi hak Allah dan Rasul-Nya dalam hal itu, dan dia tidak mencarinya. Dia tidak ridha karena ridha Allah dan Rasul-Nya, dia tidak marah karena kemarahan Allah dan Rasul-Nya. Tetapi dia ridha jika mendapatkan apa yang diridhai oleh hawa nafsunya, dan marah jika mendapatkan apa yang membuat hawa nafsunya marah". (Minhajus Sunnah an-Nabawiyah, 5/255-256)
Dengan demikian, maka mengikuti hawa nafsu akan menyeret pelaku kepada kesesatan dan kerusakan. Sebab, timbulnya bid'ah adalah hawa nafsu, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam, "Permulaan bid'ah adalah mencela Sunnah (ajaran Nabi) dengan dasar persangkaan dan hawa nafsu (sebagaimana bibit kemunculan golongan Khawarij-pen), sebagaimana Iblis mencela perintah Allah (saat diperintahkan sujud kepada Adam) dengan pikirannya dan hawa nafsunya". (Majmu' al-Fatawa, 3/350)
Nabi صلى الله عليه وسلم juga sudah mengingatkan bahwa mengikuti hawa nafsu akan membawa kehancuran. Beliau صلى الله عليه وسلم bersabda :
ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ وَ ثَلاَثٌ مُنْجِيَاتٌ، فَأَمَا ثَلاَثٌ مُهْلِكَاتٌ: شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوَى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الـمَرْءِ بِنَفْسِهِ
وَ ثَلاَثٌ مُنْجِيَاتٌ: خَشْيَةُ اللهِ فِي السِّرِّ وَالعلانِيةِ وَقَصْدُ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى وَالْعَدْلُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا
Tiga perkara yang membinasakan dan tiga perkara yang menyelamatkan. Adapun tiga perkara yang membinasakan adalah: kebakhilan dan kerakusan yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan seseorang yang membanggakan diri sendiri.
Sedangkan tiga perkara yang menyelamatkan adalah takut kepada Allah di waktu sendirian dan dilihat orang banyak, sederhana di waktu kekurangan dan kecukupan, dan (berkata/berbuat) adil di waktu marah dan ridha.
(Hadits ini diriwayatkan dari Sahabat Anas, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, 'Abdullah bin Abi Aufa, dan Ibnu Umar رضي الله عنهم. Hadits ini dinilai sebagai hadits hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 1802 karena banyak jalur periwayatannya).
Demikian juga, bahaya mengikuti hawa nafsu adalah mendatangkan kesusahan dan kesempitan hati. Syaikhul Islam berkata, "Barangsiapa mengikuti hawa nafsunya, seperti mencari kepemimpinan dan ketinggian (dunia-pen), keterikatan hati dengan bentuk-bentuk keindahan. (kecantikan, ketampanan, dan lain-lain-pen), atau (usaha) mengumpulkan harta, di tengah usahanya untuk mendapatkan hal itu dia akan menemui rasa susah, sedih, sakit dan sempit hati, yang tidak bisa diungkapkan. Dan kemungkinan hatinya tidak mudah untuk meninggalkan keinginannya, dan dia tidak mendapatkan apa yang menggembirakannya. Bahkan dia selalu berada di dalam ketakutan dan kesedihan yang terus menerus. Jika dia mencari sesuatu yang dia sukai, maka sebelum dia mendapatkannya, dia selalu sedih dan perih karena belum mendapatkannya. Jika dia sudah mendapatkannya, maka dia takut kehilangan atau ditinggalkan (sesuatu yang dia sukai itu). (Majmu' al-Fatawa, 10/651)
MENUNDUKKAN HAWA NAFSU
Maka untuk meraih keselamatan, orang yang mengikuti hawa nafsu harus mengobati dirinya dengan rasa takut kepada Allah عزّوجلّ sehingga akan menghentikannya dari mengikuti hawa nafsu. Demikian juga perlu diterapi dengan ilmu dan dzikir. Dengan keduanya, maka hawa nafsu akan terpental. Jika rasa takut kepada Allah sudah tertanam di dalam hati, maka hati akan bisa memahami dan melihat kebenaran sebagaimana mata yang melihat benda-benda dengan sinar terang matahari.
Allah عزّوجلّ berfirman:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى. فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya). (QS. An-Nazi'at/79: 40-41)
Semoga Allah selalu membimbing hati kita sehingga sellau mampu menundukkan hawa nafsu dengan sebaik-baiknya. Hanya Allah tempat memohon pertolongan.[]
Publication : 1437 H_2016 M
Jangan Mengikuti Hawa Nafsu
Ustadz Abu Isma'il Muslim al-Atsari حفظه الله
Sumber Majalah As-Sunnah No.10 Th.XIX_ 1437 H / 2016 M
e-Book ini didownload dari www.ibnumajjah.com
Keutamaan Tauhid
A. MAKNA TAUHID
Tauhid, yaitu seorang hamba meyakini bahwa Allah Ta’ala adalah Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam Rububiyah (ketuhanan), Uluhiyah (ibadah), Asma` (nama-nama) dan Sifat-Nya.
Urgensi Tauhid: Seorang hamba meyakini dan mengakui bahwa Allah Ta’ala Maha Esa, Rabb (Tuhan) segala sesuatu dan rajanya. Sesungguhnya hanya Dia yang menciptakan, mengatur alam semesta. Hanya Dia-lah yang berhak disembah, tiada sekutu bagi-Nya. Dan setiap yang disembah selain-Nya adalah batil. Sesungguhnya Dia bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, Maha Suci dari segala aib dan kekurangan. Dia mempunyai nama-nama yang indah dan sifat-sifat yang tinggi.
Tauhid merupakan kewajiban pertama yang Allah عزّوجلّwajibkan kepada umat manusia, dan sebaliknya larangan pertama yang Allah larang kepada mereka adalah syirik. Hal ini sebagaimana firman Allahعزّوجلّ:
يَاأَيُّهَاالنَّاسُاعْبُدُوارَبَّكُمُالَّذِيخَلَقَكُمْوَالَّذِينَمِنْقَبْلِكُمْلَعَلَّكُمْتَتَّقُونَ. الَّذِيجَعَلَلَكُمُالأرْضَفِرَاشًاوَالسَّمَاءَبِنَاءًوَأَنْزَلَمِنَالسَّمَاءِمَاءًفَأَخْرَجَبِهِمِنَالثَّمَرَاتِرِزْقًالَكُمْفَلاتَجْعَلُوالِلَّهِأَنْدَادًاوَأَنْتُمْتَعْلَمُونَ
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, Padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah/2: 21-22)
B. TAUHID ADALAH PERKARA
YANG PALING PENTING DAN UTAMA
Tanpa diragukankan lagi bahwa tauhid adalah hal yang paling penting yang harus diperhatikan oleh setiap hamba yang menginginkan kebahagian hidup di dunia dan akhirat, karena tauhid adalah hak Allah Ta’ala yang wajib ditunaikan oleh setiap hamba. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bertanya pada Mu’adz bin Jabalرضي الله عنه,
يَامُعَاذُهَلْتَدْرِيحَقَّاللَّهِعَلَىعِبَادِهِ؟قُلْتُ:اللَّهُوَرَسُولُهُأَعْلَمُ،قَالَ:فَإِنَّحَقَّاللَّهِعَلَىالْعِبَادِأَنْيَعْبُدُوهُوَلَايُشْرِكُوابِهِشَيْئًا
“Wahai Mu’adz apakah hak Allah atas hamba-Nya?” Jawab Mu’adz, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”, lalu Rasulullah menyatakan bahwa “Hak Allah atas hamba adalah seorang hamba beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya (dalam beribadah) dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Tauhid itu pula yang menjadi tujuan dan hikmah teragung diciptakannya jin dan manusia, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَمَاخَلَقْتُالْجِنَّوَالْإِنسَإِلَّالِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (menyembah) kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzaariyaat/51: 56)
Seorang hamba memang sudah seharusnya mempelajari tauhid, memahaminya, dan mengamalkan konsekuensinya. Berikut ini akan disebutkan tentang beberapa keutamaan tauhid selain yang telah di sebutkan di atas.
C. BEBERAPA KEUTAMAAN TAUHID
Allah tidaklah mewajibkan suatu perkara, melainkan pasti padanya terdapat keutamaan-keutamaan yang sangat mulia. Begitu pula dengan “Tauhid” yang merupakan paling wajibnya perkara dari perkara-perkara yang paling wajib, pasti mempunyai berbagai keutamaan. Di antara keutamaan-keutamaan tauhid itu ialah :
1. Tauhid adalah tingkat keimanan yang tertinggi
Rasulullah صلى الله عليه وسلمbersabda :
الْإِيمَانُبِضْعٌوَسِتُّونَشُعْبَةًفَأَفْضَلُهَاقَوْلُلَاإِلَهَإِلَّااللَّهُوَأَدْنَاهَاإِمَاطَةُالْأَذَىعَنْالطَّرِيقِ
“Iman itu memiliki enam puluh sekian cabang, paling tingginya adalah perkataan / ucapan Laa Ilaaha Illallah dan paling rendahnya menyingkirkan gangguan dari jalan.” (HR. Muslim)
Perlu diketahui bahwa Laa Ilaaha Illallah tidak cukup hanya diucapkan di lisan saja. Akan tetapi harus bersumber dari hati yang ikhlas dan kemudian dibuktikan dengan pengamalan dari apa yang dikandung oleh Laa Ilaaha Illallah yaitu memurnikan ibadah hanya untuk Allah semata dan menjauhi segala bentuk kesyirikan. Sebagaimana sabda Nabiصلى الله عليه وسلم:
فَإِنَّاللهَحَرَّمَعَلَىالنَّارِمَنْقَالَلاَإِلهَإِلاّاللهيَبْتَغِيبِذَلِكَوَجْهَاللهِ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi neraka orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan mengharap wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Tauhid sebagai syarat utama diterimanya semua amal ibadah
Allah عزّوجلّberfirman :
ذَلِكَهُدَىاللَّهِيَهْدِيبِهِمَنْيَشَاءُمِنْعِبَادِهِوَلَوْأَشْرَكُوالَحَبِطَعَنْهُمْمَاكَانُوايَعْمَلُونَ
“Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’aam/6: 88)
Amalan-amalan ibadah orang musyrik tidak akan diterima oleh Allah عزّوجلّdan sebaliknya orang Muwahhid (ahli tauhid) akan diterima oleh Allah amalan ibadahnya.
3. Tauhid merupakan sebab utama dihapuskannya dosa
Hal ini didasarkan kepada firman Allah عزّوجلّ:
إِنَّاللَّهَلايَغْفِرُأَنْيُشْرَكَبِهِوَيَغْفِرُمَادُونَذَلِكَلِمَنْيَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”.(QS. An. Nisaa’/4: 48, 116)
4. Orang yang benar-benar merealisasikan tauhid akan masuk jannah (surga) tanpa hisab
Ketika para shahabat bertanya-tanya tentang 70.000 orang dari umat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلمyang masuk jannah tanpa hisab dan tanpa adzab, maka Rasulullah bersabda :
هُمُالَّذِينَلاَيَسْتَرْقُونَوَلاَيَكْتَوُونَوَلاَيَتَطَيَّرُونَوَعَلَىرَبِّهِمْيَتَوَكَّلُونَ
“… mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak minta di-kay (pengobatan dengan menggunakan api) dan tidak mengundi nasib dengan burung dan sejenisnya dan mereka bertawakkal hanya kepada Allah.” (HR. At Tirmidzi)
5. Orang yang tauhidnya benar akan masuk surga
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم:
مَنْلَقِيَاللهَلاَيُشْرِكُبِهشَيْئًادَخَلَالْجَنَّةَ
“Barangsiapa bertemu Allah (meninggal dunia) dalam keadaan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu (apapun), niscaya dia akan masuk surga.” (HR. Muslim)
Adapun masuknya orang yang tidak berbuat syirik ke dalam surga maka itu merupakan hal yang pasti. Akan tetapi jika dia bukan pelaku dosa besar yang terus menerus dilakukan sampai meninggal dunia maka dia akan langsung masuk surga. Sedangkan jika dia pelaku dosa besar hingga akhir hayatnya dan belum bertaubat maka yang demikian di bawah kehendak Allah عزّوجلّ. Jika Allah mengampuni, maka akan masuk surga secara langsung tanpa diadzab. Dan jika tidak diampuni, maka akan diadzab terlebih dahulu kemudian dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. (Fathul Majid hal. 84).
6. Tauhid merupakan sumber keamanan
Sebagaimana firman Allah :
الَّذِينَآمَنُواوَلَمْيَلْبِسُواإِيمَانَهُمْبِظُلْمٍأُولَئِكَلَهُمُالأمْنُوَهُمْمُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’aam/6: 82)
Berkata Ibnu Katsir asy-Syafi’i رحمه الله: “Orang-orang yang mengikhlaskan ibadah mereka hanya untuk Allah saja dan mereka tidak menyekutukan Allah sedikitpun, mereka itu akan mendapatkan keamanan pada hari kiamat dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk di dunia dan akhirat.” (Fathul Majid hal. 36)
Yang dimaksud dengan kedhaliman pada ayat di atas adalah syirik sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud رضي الله عنه:
Tatkala turun ayat ini, para shahabat berkata : “Siapa di antara kami yang tidak pernah mendhalimi dirinya ?” Kemudian Rasulullah bersabda: “Bukan demikian maksudnya, apakah kalian tidak mendengar perkataan Luqman: sesungguhnya kesyirikan itu adalah kedhaliman yang besar.” (HR. Al Bukhari)
Itulah di antara keutamaan-keutamaan tauhid yang dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
D. BAGAIMANAKAH BAHAYA SYIRIK?
Syirik merupakan lawan dari tauhid. Oleh karena itu di saat tauhid mempunyai banyak keutamaan maka syirik pun sangat berbahaya dan mempunyai banyak mudharat. Di antaranya adalah :
1. Dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah
Sebagaimana firman Allah عزّوجلّ:
إِنَّاللَّهَلايَغْفِرُأَنْيُشْرَكَبِهِوَيَغْفِرُمَادُونَذَلِكَلِمَنْيَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. (QS. An. Nisaa’/4: 48, 116)
2. Kesyirikan adalah kedhaliman yang paling besar
Firman Allah عزّوجلّ:
إِنَّالشِّرْكَلَظُلْمٌعَظِيمٌ
“Sesungguhnya kesyirikan adalah kedhaliman yang besar.” (QS. Luqman/31: 13)
3. Orang yang meninggal dunia dalam keadaan musyrik akan masuk neraka dan kekal di dalamnya
إِنَّهُمَنْيُشْرِكْبِاللَّهِفَقَدْحَرَّمَاللَّهُعَلَيْهِالْجَنَّةَوَمَأْوَاهُالنَّارُوَمَالِلظَّالِمِينَمِنْأَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, Maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS. Al-Ma-idah/5: 72)
Rasulullah صلى الله عليه وسلمjuga bersabda :
مَنْمَاتَوَهُوَيَدْعُومِنْدُونِاللهِنِدًّادَخَلَالنَّارَ
“Barangsiapa meninggal dunia dan dia berdo’a kepada selain Allah niscaya dia masuk neraka.” (HR. Al Bukhari)
4. Kesyirikan penyebab terpecah belah belahnya umat Islam
Firman Allah عزّوجلّ:
وَلاتَكُونُوامِنَالْمُشْرِكِينَ. مِنَالَّذِينَفَرَّقُوادِينَهُمْوَكَانُواشِيَعًاكُلُّحِزْبٍبِمَالَدَيْهِمْفَرِحُونَ
“Dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Ruum/30: 31-32)
Setelah kita mengetahui betapa pentingnya perkara tauhid dan begitu bahayanya perbuatan syirik, maka kami mengajak kepada para da’i/mubaligh agar mengutamakan dalam da’wahnya perkara tauhid dan memperingatkan umat dari bahaya syirik. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلمdan para shahabat beliau, bahkan para rasul seluruhnya. Allah عزّوجلّberfirman:
وَلَقَدْبَعَثْنَافِيكُلِّأُمَّةٍرَّسُولاًأَنِاعْبُدُواْاللّهَوَاجْتَنِبُواْالطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”. (QS. An-Nahl/16: 36)
Wallahu A’lam Bish Shawab.[]
Publication : 1437 H_2016 M
Keutamaan Tauhid dan Bahaya Syirik
Oleh : Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc, MA حفظه الله
Disalin dari Blog Penulis di www.abufawaz.wordpress.com
e-Book ini didownload dari www.ibnumajjah.com
Senin, 23 Mei 2016
MAKNA NAMA ALLAH: AL-AZIIZ
MAKNA NAMA ALLAH: AL-AZIIZ
Segala puji hanya bagi Allah Subhana wa Ta’ala, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya… Amma ba’du:
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim pada sebauh hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, tidaklah seseorang menghafalnya/menjaganya kecuali dia akan masuk surga, dan Dia ganjil serta senang dengan bilangan yang ganjil”, di dalam sebuah riwayat disebutkan: “Dan barang siapa yang menghitungnya maka dia akan masuk surga”.
Di antara nama-nama Allah Azza wa Jalla yang baik adalah Al-Aziiz, Al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Al-Aziiz artinya (yang kuat, yang tidak dijangkau dan tidak pula dikalahkan). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Al-Aziiz, yaitu yang menundukkan segala sesuatu dan mengalahkannya, yang menaklukkan segala sesuatu maka tidak seorangpun yang dapat menghina karena kekuatan, keagungan, keperkasaan dan kebesaran yang dimilikinya.
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Al-Izzah mengandung tiga hal:
1. Mulia dengan kekuatan, makna ini ditunjukkan oleh asma Allah Al-Qowwi dan Al-Matiin.
2. Mulia dengan kekokohan, Dia adalah Allah Zat Yang Maha Kaya. Dia tidak membutuhkan seorangpun dan tidak seorangpun yang mampu memberikan kemudharatan bagi-Nya atau memberikan manfaat kepada-Nya, Dia-lah Allah Yang Maha Kuasa memberikan manfaat dan mudharat, yang memberi dan mencegah.
3. Mulia karena Dia mampu menundukkan segala sesuatu, mengalahkan segala hal, semuanya tunduk bagi Allah Azza wa Jalla dan takluk pada kebesaran-Nya, pasrah pada semua kehendak-Nya, tidak ada sesuatu apapun bergerak di alam ini kecuali dengan kekuasaan dan kekuatan Allah Subhana wa Ta’ala.
DALIL NAMA ALLAH: AL-AZIIZ
Sebagian mereka berkata, “Kata Al-Aziiz di dalam Al-Qur’an disebutkan sejumlah tujuh puluh dua kali. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Baqarah/2: 260).
Allah Subhana wa Ta’ala berfirman:
وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa). (QS. Ali Imron/3: 4).
Dan Allah Azza wa Jalla juga berfirman:
ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (QS. Yasin/ 38)
DAMPAK MENGIMANI NAMA ALLAH AL-AZIIZ
Di antara manfaat yang didapatkan dengan beriman kepada nama Allah Subhana wa Ta’ala ini adalah:
1. Beriman kepada Allah Subhana wa Ta’ala di mana di antara nama-Nya adalah Al-Aziiz yang berarti tidak akan pernah dikalahkan, ditundukkan. Beriman kepada nama ini akan menanamkan rasa berani dan kepercayaan kepada Allah Azza wa Jalla, sebab makna yang tersirat dari nama ini adalah bahwa tidak seorangpun yang mampu mencegah dan menolak perintah Allah Subhana wa Ta’ala, dan apapun yang dikehendaki-Nya pasti akan terjadi sekalipun seluruh manusia tidak menghendakinya dan segala sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan pernah terjadi sekalipun seluruh manusia mengharapkannya terjadi. Dan seorang yang merenungkan kisah-kisah para nabi dan rasul akan melihat kejelasan perkara tersebut, seperti kisah Nabi Musa Alaihis salam, pada saat Fir’aun berupaya mencegah terlahirnya seorang bayi laki-laki (yang akan mengambil kekuasaannya), dia memerintahkan untuk membunuh seluruh bayi laki-laki bani Israil yang terlahir, sebab dia telah mengetahui bahwa bayi yang akan mencabut kekuasaannya akan terlahir dari kaum bani Israil, namun Allah Yang Maha Mulia enggan kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, sekalipun orang-orang kafir merasa benci. Maka Musapun terlahir dan besar di dalam istana Fir’aun, di dalam rumahnya, dalam pengawasannya lalu pada saat dia berusaha membunuhnya maka Allah-pun membinasakan Fir’aun, berserta panglima tinggi militernya, Haman dan seluruh tentaranya. Dan banyak lagi kisah-kisah yang lain.
2. Orang yang mulia di dunia dan akhirat adalah orang yang dimuliakan oleh Allah. Allah Azza wa Jalla berfirman:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Ali Imron/3: 26)
Maka barangsiapa yang menginginkan kemuliaan maka hendaklah dia memintanya dari Allah Azza wa Jalla Yang memiliki kemuliaan. Allah Ta’ala berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا
Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. (QS. Fathir/35: 10).
Artinya barangsiapa yang ingin menjadi mulia di dunia dan akhirat maka hendaklah dia selalu taat kepada Allah Subhana wa Ta’ala, dengan itu segala keinginannya akan tercapai sebab Dia yang menguasai dunia dan akhirat, segala kemuliaan menjadi milik Nya. Allah telah mencela suatu kaum yang mencari kemuliaan kepada selain Allah, mereka menjadikan musuh-musuh Allah, dari orang-orang sebagai wali mereka, mereka menyangka bahwa inilah jalan dan jalur menuju kemuliaan itu. Allah Subhana wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا
(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. (QS. Al-Nisa’/4: 139)
Semakin tinggi ketaatan seseorang maka semakin besar kemuliaannya, orang yang paling mulia adalah para nabi, kemudian orang-orang yang lebih rendah dari mereka, yaitu golongan orang-orang yang beriman yang mengikuti para nabi itu.
Fakhruddin Al-Rozi berkata, “Dan kemuliaan seseorang tergantung pada ketinggian mereka dalam beragama, maka setiap kali sifat ini lebih sempurna maka dorongan kepada yang negatif akan lebih sedikit dan dia akan lebih mulia dan lebih tinggi.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ
Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, (QS. Al-Munafiqun/63: 8)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kaum Anshar: “Tidakkah dulunya kalian adalah kaum yang hina kemudian dimuliakan oleh Allah?”.
Amirul mu’minin Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kita adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan Islam, bagaimanapun usaha kita untuk mencari kemuliaan dengan selain Islam maka kita akan dibuat hina oleh Allah”.
Dan di antara dio’a yang selalu dilantunkan oleh ulama salaf adalah:
اللهم أعِزَّنا بِطَاعَتِكَ، وَلَا تُذِلَّنا بِـمَعْصِيَتِكَ
Ya Allah muliakan kami dengan ketaatan kepada-Mu dan janganlah hinakan kami dengan kemaksiatan kepada-Mu.
Maka orang yang taat akan hidup mulia, dan pelaku maksiat hidup terhina. Oleh karena itu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad di dalam musnadnya dari Ibnu Umar, “Dan Allah Subhana wa Ta’ala menjadikan kehinaan dan kehinaan pada orang yang menyalahi perintahku”.
3. Kita meminta kepada Allah Ta’ala dan bersimpuh di hadapannya dengan nama yang agung ini, yaitu nama Al-Aziiz. Diriwayatkan oleh Al-Turmudzi dalam sunannya dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau mengeluhkan suatu penyakit maka letakkanlah tanganmu pada bagian tubuh yang sakit lalu bacalah:
بِسْمِ اللهِ، أَعُوذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ مِنْ وَجَعِي هَذَا
“Dengan menyebut nama Allah, aku berlindung dengan kekuatan Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan yang aku rasakan pada penyakitku ini”. Kemudian hendaklah dia mengangkat tangannya dan ulangilah hal itu dalam jumlah yang ganjil”.
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَنْ تُضِلَّنِي، أَنْتَ الْحَيُّ الَّذِي لَا يـَمُوتُ وَالْـجِنُّ وَالْإِنْسُ يـَمُوتُونَ
“Ya Allah aku berlindung dengan kekuatan-Mu, tidak ada Tuhan yang patut disembah dengan sebenarnya kecuali Dirimu, janganlah sesatkan aku ini, Engakau Maha Hidup sementara jin dan manusia akan mati semua”.
4. Di antara sebab kemuliaan seseorang dan kedudukannya yang tinggi adalah memaafkan dan merendahkan diri. Diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah suatu harta itu berkurang karena shedekah, dan tidaklah Allah menambahkan bagi seorang hamba yang bersifat pemaaf kecuali dengan kemuliaan, dan tidaklah seorang hamba merendah diri kecuali Allah akan mengangkatnya”. Maka barangsiapa yang memaafkan kesalahan seseorang padahal dia mampu membalas maka dia akan menjadi orang yang besar di dalam hati saat hidup di dunia ini dan di akhirat dia akan mendapat pahala yang besar dari Allah. Begitu pula sikap merendah diri, dia adalah kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat.
5. Apa yang menimpa kaum muslimin berupa kelemahan, kehinaan, kerendahan dan tertinggal dari umat yang lain pada zaman sekarang ini adalah sebab langsung dari dosa-dosa dan kemaksiatan mereka, mereka menjauhi agama Allah Subhana wa Ta’ala, seandainya mereka berpegang degan ajaran agama ini dan mengamalkan apa yang ada padanya maka Allah Subhana wa Ta’ala pasti memuliakan dan menolong mereka atas musuh-musuh mereka, dan umat Islam pasti menjadi pemimpin dunia, bangsa-bangsa seperti yang terjadi pada para shahabat radhiallahu anhum, di mana kemenangan-kemenangan mereka telah mencapai belahan timur dan barat dunia. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. Al-Nur/24: 55).
Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam musnadnya dari hadits Tamim Ad-Dari bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perkara agama ini pasti sampai meliputi apa yang diliputi oleh siang dan malam dan Allah tidak meninggalkan satu rumah pun baik di perkotaan atau pedesaan kecuali Allah akan memasukkan padanya perkara agama ini dengan menguatkan orang yang mulia dan menghinakan orang yang hina, yaitu kemuliaan yang dengan Islam menjadi mulia dan kehinaan yang dengan kekufuran menjadi terhina.” Tamim Ad-Dari berkata, “Aku telah mengetahui realita ini dari keluargaku, sebab orang yang telah masuk Islam dari mereka mendapat kebaikan, kemuliaan dan kekuatan sementara orang yang kafir dari mereka mendapat kehinaan, kerendahan dan diwajibkan membayar jizyah.”
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada keluarga, shahabat serta seluruh pengikut beliau.[]
Penjelasan Nama Allah_ Al-Aziiz
Oleh : Syaikh Amin bin Abdullah asy-Syaqawi
Terjemah: Muzaffar Sahidu
Editor: Eko Haryanto Abu Ziyad
Diambil dari web www.IslamHouse.com
Sebagian Sub Judul dari Kami...
e-Book ini didownload dari www.ibnumajjah.com
Senin, 16 Mei 2016
A L - H A K I I M Yang Maha Bijaksana
Al-Hakiim
(Yang Mahabijaksana)
Firman Allah عزّوجلّ:
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْـحَكِيمُ الْـخَبِيرُ
"Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-An'aam/6: 18)
Dia عزّوجلّ al-Hakiim yang disifati dengan kebijaksanaan yang sempurna dan kesempurnaan hukum di antara makhluk. Maka al-Hakiim yaitu yang memiliki ilmu yang luas dan mengetahui dasar (permulaan) segala perkara dan akibatnya, pujian yang luas, qudrat yang sempurna, rahmat yang melimpah. Dialah yang meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, menempatkannya di tempat yang pantas pada ciptaan dan perintah-Nya. Maka tiada ditujukan kepada-Nya pertanyaan (sebagai protes) dan tiada cela dalam kebijaksanaan-Nya.
Kebijaksanaan-Nya ada dua:
Pertama: Kebijaksanaan pada makhluk-Nya.
Dia menciptakan makhluk dengan benar dan mengandung kebenaran. Maksud dan tujuan-Nya adalah benar. Dia menciptakan semua makhluk dengan sebaik-baik susunan, mengaturnya dengan aturan yang sempurna, memberikan setiap makhluk ciptaan-Nya yang pantas dengannya. Bahkan, la memberikan setiap bagian dari bagian tubuh makhluk dan setiap anggota dari anggota tubuh makhluk hidup corak dan bentuknya. Seseorang tidak akan melihat pada ciptaan-Nya cela/aib, kekurangan dan sia-sia.
Jika berkumpul semua akal makhluk dari yang pertama sampai yang terakhir untuk menciptakan (yang belum pernah ada) seperti ciptaan Allah عزّوجلّ yang bersifat Rahmaan, atau yang mendekati sesuatu yang la ciptakan di alam semesta berupa keindahan, keteraturan, dan kokoh, niscaya mereka tidak akan mampu. Dari mana adanya kemampuan bagi mereka atas yang demikian itu?
Cukuplah orang-orang yang berakal dan bijaksana dari mereka mengenal kebijaksanaan-Nya yang sangat banyak dan mengetahui sebagian keelokan dan kekokohan yang ada padanya. Ini diketahui dengan pasti dengan diketahui kebesaran-Nya, sifat-Nya yang sempurna, dan kebijaksanaan-Nya yang terus-menerus dalam ciptaan dan perintah. Dia telah memberikan tantangan dan memerintahkan mereka agar berpikir dan terus berpikir apakah mereka menemukan aib/cela atau kekurangan dalam ciptaan-Nya. Sesungguhnya pemikiran akan tumpul dan lemah untuk memberi kritik terhadap sesuatu dari ciptaan-Nya.
Kedua: Kebijaksanaan pada syari'at dan perintah-Nya.
Sesungguhnya Allah عزّوجلّ menetapkan syari'at, menurunkan Kitab, dan mengutus para Rasul agar semua hamba mengenal dan menyembah-Nya. Adakah kebijaksanaan yang lebih besar dari ini? Adakah karunia dan kemuliaan yang lebih agung dari ini? Sesungguhnya mengenal dan menyembah Allah عزّوجلّ, Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, beramal dan memuji-Nya dengan ikhlas, bersyukur dan memuji kepada-Nya merupakan pemberian yang paling utama dari-Nya bagi para hamba secara mutlak, karunia yang paling besar bagi orang yang diberi nikmat seperti itu dan keberuntungan serta kebahagiaan yang paling sempurna untuk hati dan jiwa (ruh), sebagaimana hal itu merupakan satu-satunya sebab untuk mencapai kebahagiaan yang abadi dan kesenangan yang kekal. Andaikan tidak ada dalam perintah dan syari'at-Nya, kecuali hikmah yang besar ini, yang merupakan dasar segala kebaikan, kenikmatan yang paling sempurna, dan karenanyalah diciptakan makhluk, pembalasan, dan diciptakan Surga dan Neraka, niscaya hal itu sudah cukup dan memadai.
Syari'at dan agama-Nya meliputi segala kebaikan. Berita-Nya memberikan ilmu, keyakinan, iman, dan 'aqidah yang shahih kepada hati. Hati terus konsisten dengannya sehingga hilang penyimpangannya. Hal itu membuahkan setiap ciptaan yang indah, amal yang shalih, petunjuk, dan nasehat. Semua perintah dan larangan-Nya meliputi puncak kebijaksanaan dan kebaikan serta memperbaiki agama dan dunia. Dia tidak memerintah kecuali dengan sesuatu, yang mutlak mashlahatnya (kebaikannya) atau yang paling dominan. Dia tidak melarang sesuatu, kecuali hal yang keburukannya/kerusakannya sangat mutlak atau yang paling dominan.
Sebagian dari hikmah syari'at Islam bahwa ia adalah puncak untuk perbaikan hati, akhlak, perbuatan, dan istiqamah (konsisten) di jalan yang lurus. Dia adalah puncak untuk perbaikan dunia. Tidak akan baik urusan dunia dengan kebaikan yang hakiki (yang sebenar-benarnya), kecuali dengan agama yang hak, yang dibawa oleh Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Hal ini disaksikan dan dirasakan oleh setiap orang yang berakal. Maka ummat Muhammad صلى الله عليه وسلم, ketika melaksanakan ajaran agama ini, baik ushul (dasar) maupun furu'-nya (cabangnya), serta semua petunjuk dan nasihat, mereka berada di puncak keistiqamahan dan kebaikan. Tatkala mereka berpaling dari ajaran agama ini, meninggalkan kebanyakan dari petunjuknya (agama), dan tidak mencari petunjuk dengan ajarannya yang tinggi, maka berpalinglah dunia mereka sebagaimana agama mereka telah menyimpang.
Demikian pula perhatikanlah ummat yang lain, yang telah sampai pada kekuatan, peradaban, dan kemajuan yang sangat mengagumkan. Akan tetapi, ketika semua itu kosong dari nilai agama, rahmat, dan keadilannya, bahaya dari penemuan mereka lebih besar dari manfaatnya, kejahatannya lebih banyak dari kebaikannya. Para pakar, pemerintah, dan pemimpin mereka tidak mampu membendung bahaya yang diakibatkannya, dan mereka tidak akan pernah mampu membendung hal itu selama keadaan mereka tidak berubah. Oleh karena itu, merupakan hikmah-Nya bahwasanya yang dibawa oleh Muhammad صلى الله عليه وسلم berupa agama dan al-Qur’an yang mulia merupakan bukti yang paling besar atas kejujurannya dan kebenaran yang dibawanya karena keadaan-Nya sebagai pemberi keputusan yang sempurna yang tidak akan ada, kecuali dengan-Nya.
Sebagai kesimpulan, al-Hakiim berhubungan dengan semua makhluk dan syara'. Semuanya berada pada puncak kebijaksanaan. Dia al-Hakiim pada semua hukum yang bersifat qadar (keputusan/ ketentuan), syara' dan pembalasan. Perbedaan antara hukum-hukum qadar dan syara', yaitu: Sesunggguhnya qadar berhubungan dengan yang diadakan, dibentuk, dan ditentukan, dan sesunggguhnya apa yang dikehendaki-Nya, niscaya pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, niscaya tidak akan terjadi. Sedangkan hukum-hukum syara' berhubungan dengan syari'at-Nya. Hamba Allah tidak lepas dari dua hal tersebut atau dari salah satunya. Siapa di antara mereka yang melakukan perbuatan yang dicintai dan diridhai-Nya, sungguh telah terkumpul padanya dua kebijaksanaan, dan siapa yang melakukan perbuatan yang berlawanan dari hal itu, sungguh didapatkan padanya kebijaksanaan qadar saja. Sesungguhnya apa yang dilakukannya terjadi dengan qadha dan qadar-Nya dan tidak ada dalam hukum syar'i, karena dia telah meninggalkan amal yang dicintai Allah dan diridhai-Nya. Kebaikan dan kejahatan, taat dan maksiat, semuanya berhubungan dan mengikuti hukum qadar, Amal yang dicintai Allah عزّوجلّ ialah yang mengikuti hukum syar'i dan yang berhubungan dengannya. Wallaahu a'lam. []
Publication : 1437 H_2016 M
Al-Hakiim
Oleh : Syaikh Said bin 'Ali Wahf al-Qahthani
Disalin dari Syarah Asma'ul Husna hal. 106-110, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i
e-Book ini didownload dari www.ibnumajjah.wordpress.com
Minggu, 15 Mei 2016
Cara Meraih Kekuatan Amal Shalih
Oleh : Syaikh Muhammad bin Ibrahim At Tuwaijiriy hafidzahullah
Dialah Allah subhanahu wa ta’ala pencipta segala sesuatu serta pencipta kekuatan pada amalan shalih.
Allah subhanah jadikan kekuatan pada amal shalih bertingkat-tingkat sebagaimana pada selain nya.
Tauhid memiliki kekuatan,
Iman memiliki kekuatan,
Ikhlas memiliki kekuatan,
Shalat memiliki kekuatan,
Thaharah memiliki kekuatan,
Zakat memiliki kekuatan,
Puasa memiliki kekuatan,
Haji memiliki kekuatan,
Doa memiliki kekuatan,
Dzikir memiliki kekuatan,
Sabar memiliki kekuatan,
Takwa memiliki kekuatan,
Jujur memiliki kekuatan,
Ihsan memiliki kekuatan,
Infaq memiliki kekuatan,
Memaafkan orang lain memiliki kekuatan,
Syukur memiliki kekuatan,
Demikian seterusnya.
Siapa saja yang memiliki kekuatan amal niscaya Allah akan tundukkan baginya kekuatan para makhluk.
Firman Allah ta’ala,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’raf: 96)
Dalam ayat lain Allah subhanah berfirman,
وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُودَ مِنَّا فَضْلًا ۖ يَا جِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ ۖ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud keutamaan dari Kami. (Kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud”, dan Kami telah melunakkan besi untuknya.” (QS. Saba: 10)
وَلِسُلَيْمَانَ الرِّيحَ غُدُوُّهَا شَهْرٌ وَرَوَاحُهَا شَهْرٌ ۖ وَأَسَلْنَا لَهُ عَيْنَ الْقِطْرِ ۖ وَمِنَ الْجِنِّ مَنْ يَعْمَلُ بَيْنَ يَدَيْهِ بِإِذْنِ رَبِّهِ ۖ وَمَنْ يَزِغْ مِنْهُمْ عَنْ أَمْرِنَا نُذِقْهُ مِنْ عَذَابِ السَّعِيرِ
“Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala.” (QS.Saba: 12)
Maha suci Dzat yang Maha kuat lagi Perkasa yang telah menciptakan kekuatan pada makhlukNya juga kekuatan pada amal shalih.
Tidak ada yang mampu meraih kekuatan amal kecuali para Nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan orang-orang beriman.
Sungguh Allah Ta’ala mengutus para rasul agar memerintahkan manusia beribadah kepada Allah semata, tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun serta menunjukkan mereka (jalan lurus) agar memperoleh ketetapan-ketetapan Allah dan perbendaharaan Allah dengan iman dan amal shalih.
Sesuatu yang disisi Allah tidak akan diraih kecuali dengan ketaatan pada Nya.
Dan ketaatan tidak akan terwujud kecuali dengan iman dan amal sebagaimana yang diajarkan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
****
Sumber: Materi daurah online Fiqh Zaadil Qulub Fi Ramadhan, Syaikh Muhammad bin Ibrahim At Tuwaijiriy.
Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Wanitasalihah.com
Artikel wanitasalihah.com
Jumat, 13 Mei 2016
[Pin It]
# Mengapa Allah Subhanah Menyerupakan Dunia dengan Air? #
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakan dunia dengan air, pada firman-Nya Ta’ala,
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ
“Berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit.” (QS. Al-Kahfi: 45)
Imam Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan,
“Para ahli hikmah berkata, ‘Allah menyerupakan dunia dengan air karena beberapa alasan:
1. Air tidak diam di satu tempat, demikian pula dunia, tidak menetap pada satu keadaan saja.
2. Air itu bisa habis, tidak selalu ada. Demikian pula dunia — akan sirna, tidaklah kekal.
3. Air, siapa pun yang memasukinya pasti akan basah. Seperti itu pula dunia, tidak seorang pun yang sama sekali terbebas dari ujian dan bencananya.
4. Jika air tidak terlalu melimpah, dia akan bermanfaat dan mampu menumbuhkan tanaman. Jika melampaui batas akan membahayakan dan membinasakan. Demikianlah dunia; orang yang mengambil dunia secukupnya maka dia akan dapat manfaat, namun jika berlebihan maka akan membahayakannya.'”
**
Sumber: Jami’ li Ahkamil Qur’an, karya Imam Al-Qurthubi, 13:289.
Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah WanitaSalihah.Com
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu merinci bagaimanakah cara berbakti kepada kedua orang tua dengan benar sesuai petunjuk Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Agar kita mendapatkan keberhasilan di dunia dan akhirat.
Berbicaralah kepada kedua orang tuamu dengan sopan jangan sekali-kali mengatakan uff (‘ah’ dan sejenisnya yang menunjukkan ketidaksukaan –pent.), dan janganlah membentak keduanya, tetapi berkatalah kepada keduanya dengan kata-kata yang mulia.
Taatlah kepada kedua kedua orang tuamu dalam perkara yang bukan maksiat karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam perkara bermaksiat kepada al-Khaliq.
Bersikap lemah lembutlah kepada kedua orang tua, jangan bermuka masam dan jangan memelototi mereka karena marah.
Senantiasa mendengarkan kata-kata mereka berdua, jagalah kehormatan dan harta keduanya, dan jangan mengambil sesuatu dari milik mereka berdua tanpa izin.
Berbuatlah sesuatu untuk menyenangkan keduanya walaupun tanpa mereka perintah seperti melayani, membelikan kebutuhan sehari-hari mereka dan menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh.
Bermusyawaralah dengan mereka berdua dalam semua urusan pekerjaanmu dan minta maaf jika terpaksa harus berbeda pendapat dengan mereka.
Bersegeralah memenuhi panggilan mereka dengan wajah yang ceria sambil berkata, “Ya, Ummi (Bu)” atau “Ya, Abi (Ayah)”. Jangan mengatakan, “Ya, Papa” atau “Ya, Mama” karena keduanya adalah kata-kata asing (bukan dari istilah islam-pent.)
Hormatilah teman dan kerabat mereka berdua baik ketika keduanya masih hidup maupun sesudah keduanya meninggal dunia.
Jangan mendebat dan jangan menyalahkan mereka, tapi usahakan untuk menjelaskan sesuatu yang benar kepada mereka dengan sopan santun.
Jangan bersikap keras kepada mereka berdua, jangan berbicara kasar, diamlah, dengarkan pembicaraan mereka, bersikaplah sopan santun dan jangan membuat gelisah salah seorang saudaramu dalam rangka menghormati kedua orang tuamu.
Berdirilah untuk menyambut orang tuamu jika mereka menemuimu dan ciumlah mereka.
Bantulah ibumu di rumah dan janganlah menunda-nunda untuk membantu ayahmu dalam urusan pekerjaannya.
Janganlah bepergian jika kedua orang tuamu tidak mengizinkan walaupun untuk urusan penting. Jika terpaksa harus pergi, maka mintalah maaf kepada mereka dan jangan berhenti mengirim surat kepada mereka.
Jangan menemui mereka berdua jika mereka tidak mengizinkan, khususnya ketika mereka sedang tidur atau istrahat.
Jika kamu masih tetap meremehkan larangan merokok, maka janganlah merokok di depan mereka berdua.
Jangan mendahului mengambil makan sebelum mereka berdua dan muliakanlah mereka dalam hal makan dan minum.
Jangan mendustai mereka dan jangan mencela jika mereka mengerjakan pekerjaan yang tidak memuaskanmu.
Jangan mengutamakan istri atau anak daripada orang tuamu. Carilah keridaan mereka berdua sebelum sebelum yang lainnya karena ridha Allah terletak pada ridha orang tua dan amarah Allah terletak pada amarah orang tua.
Jangan duduk di tempat yang lebih tinggi dari keduanya dan janganlah menjulurkan kakimu di hadapan mereka karena sombong.
Jangan kamu merasa sombong dalam hal penghasilan terhadap ayahmu walaupun kamu menjadi pegawai yang tinggi.
Jangan menolak kebaikan mereka berdua atau menyakiti keduanya walaupun hanya dengan sepatah kata.
Jangan pelit untuk memberikan nafkah kepada orang tua sehingga mereka sampai minta kepadamu. Tindakan seperti ini adalah aib bagimu dan kelak akan diketahui oleh anak-anakmu. Jika kamu taat (kepada orang tuamu –pent.), nanti kamu juga akan ditaati (oleh anak-anakmu –pent.).
Perbanyaklah mengunjungi kedua orang tua, berikan hadiah kepada mereka, berterimakasihlah kepada keduanya atas pendidikan dan kesabaran mereka kepadamu, dan ambillah pelajaran untuk diberikan kepada anak-anakmu –pent)
Orang yang paling berhak dihormati adalah ibumu kemudian ayahmu. Ketahuilah bahwa surga itu di bawah telapak kaki ibu.
Hindarkan dirimu dari berbuat durhaka dan marah kepada kedua orang tua. Jika durhaka dan murka kepada keduanya, maka kamu akan menderita di dunia dan di akhirat karena anak-anakmu juga akan memperlakukan kamu seperti apa yang kamu lakukan kepada kedua orang tuamu.
Jika kamu meminta sesuatu kepada kedua orang tuamu, maka bersikaplah lemah lembut kepada mereka. Berterima kasihlah jika keduanya memberimu, mintalah maaf jika mereka tidak memberimu dan jangan terlalu banyak meminta kepada mereka agar tidak menyusahkan keduanya.
Jika kamu telah mampu mencari rezeki sendiri, maka bekerjalah dan bantulah kedua orang tuamu.
Kedua orang tuamu mempunyai hak atas dirimu dan istrimu juga mempunyai hak atas dirimu. Oleh karena itu, berikanlah hak masing-masing, usahakan mendamaikan jika orang tua dan istri sedang berselisih, dan berikanlah hadiah kepada kedua belah pihak secara sembunyi-sembunyi.
Jika kedua orang tuamu bertengkar dengan istrimu, maka jadilah penengah dan berilah pengertian kepada istrimu bahwa kamu selalu bersamanya jika memang dia pada pihak yang benar. Meskipun demikian kamu harus senantiasa membuat senang kedua orang tua.
Jika kamu berselisih paham dengan kedua orang tuamu tentang urusan pernikahan dan perceraian maka berhukumlah kepada syariat islam. Itulah sebaik-baik pertolongan bagi kalian semua.
Doa orang tua adalah mustajab (makbul), doa untuk kebaikan maupun doa untuk kejelekan. Oleh karena itu hindarilah doa jelek dari orang tua kepadamu.
Bersikap santun kepada orang lain (orang tua orang lain –red.). Barang siapa mencela orang lain, mereka akan mencelanya. Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda (artinya), “Diantara dosa-dosa besar adalah seseorang mencela kedua orang tuanya, yaitu dia mencela ayah orang lain, lalu orang tersebut mencela ayahnya dan dia mencela ibu orang lain lalu orang tersebut ganti mencela ibunya.” (Mutaffaq ‘alaihi).
Kunjungilah kedua orang tuamu ketika masih hidup dan setelah mereka meninggal dunia, bersedekahlah untuk keduanya, dan perbanyaklah doa untuk keduanya
رَبِّ اغْفِرْلِي وَلِوَالِدَيَّ,وَارْحَمْهُمَاكَمَارَبَّيَانِيْ صَغِيْرًا.
“Ya Allah, Ya Tuhanku. Ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan sayangilah keduanya sebagaimana mereka menyayangiku ketika aku masih kecil.”
***
Disalin dari buku Nasehat-nasehat Nabawaiyah oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hal 119. Penerbit Maktabah Al-Hanif
Artikel Wanitasalihah.Com
Kamis, 12 Mei 2016
Kirim Pahala Sedekah Untuk Orangtua yang Masih Hidup
Fatwa Syeikh Muhammad Shalih Al Munajjid hafidzahullah
Pertanyaan:
Jika saya bersedekah atas nama orangtua yang masih hidup, apakah diwajibkan memberitahu mereka tentang hal ini? Apakah sedekah untuk orang lain hanya untuk orangtua ataukah boleh untuk semua orang?
Jawab:
Alhamdulillah,
Tidak diwajibkan bagi orang yang bersedekah untuk orang lain memberi tahu orang yang akan dikirimi pahala sedekah tersebut.
Begitu pula tidak disyaratkan orang yang dikirimi pahala sedekah harus kerabat dekat. Bahkan diperbolehkan sedekah untuk orang lain. Baik kerabat dekat dan jauh.
Dalam kitab Nailul Maarib bi Syarhi Dalilith Thalib dinyatakan,
“Semua bentuk amal shaleh yang dilakukan seorang muslim lalu ia niatkan pahalanya untuk saudaranya muslim yang hidup ataupun mati, pahalanya akan sampai kepada orang yang dituju. Meskipun orang dituju tidak tahu si pengirim pahala tersebut. Seperti doa (berdasarkan kesepakatan ulama), permohonan ampunan.”
Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata,
“Sedekah untuk orang lain akan diterima dan bermanfaat, baik untuk ayah, ibu atau selain keduanya. Sedekah untuk orang lain yang hidup ataupun mati, didalamnya terdapat kebaikan yang banyak. (Fatwa Nur Ala Darb, 14/303).
Wallahua’lam.
****
Sumber: https://islamqa.info/ar/227059
Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Wanitasalihah.com
Artikel Wanitasalihah.com
السؤال:
إذا تصدقت عن الوالدين وهم أحياء ، هل يجب أن أخبرهم أو يعلموا عنها ، وهل الصدقة لا تجوز إلا عن الوالدين أو أستطيع التصدق عن أي شخص ؟
الجواب :
الحمد لله
لا يجب على من تصدق عن غيره ، أن يُعلم المتصدق عنه بأمر تلك الصدقة ، كما أنه لا يشترط في الصدقة أن تكون عن القريب ، بل الصدقة عن الغير جائزة ، عن القريب والبعيد .
جاء في ” نيل المآرِب بشرح دليل الطالب ” (1/237) :
” وكلَّ قربةٍ فَعَلَها مسلمٌ ، وجعَلَ ثوابَها لمسلمٍ ، حيٍّ أو ميّتٍ : حصَل له ثوابُها ، ولو جَهِلَ الجاعلُ من جعلَه لهُ ، كالدعاءِ إجماعاً ، والاستغفارِ ” انتهى .
وقال الشيخ ابن باز رحمه الله : ” الصدقة تقبل وتنفع ، عن الأب والأم وعن غيرهما ، فالصدقة فيها خير كثير عن الحي والميت ” انتهى من ” فتاوى نور على الدرب ” لابن باز رحمه الله (14/ 303) .
Rabu, 11 Mei 2016
Doa Rasulullah Saat Perang Badar
Dari Umar Ibnu Khaththab radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Ketika Perang Badar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kepada kaum musyrikin dan mereka berjumlah seribu orang sedangkan para sahabatnya berjumlah tiga ratus sembilan belas orang, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke kiblat, mengangkat tangan berdo’a kepada Rabbnya:
اللَّهُمَّ أَنْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِي اللَّهُمَّ إِنْ تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ مِنْ أَهْلِ الْإِسْلَامِ لَا تُعْبَدْ فِي الْأَرْضِ
“Ya Allah, penuhilah bagiku apa yang telah Engkau janjikan kepadaku, ya Allah, datangkanlah apa yang telah engkau janjikan kepadaku, ya Allah, jika Engkau hancurkan kelompok Ahlul Islam, Engkau tidak akan disembah di muka bumi ini.”
Maka terus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a kepada Rabbnya dengan mengangkat kedua tangan menghadap kiblat, sampai terjatuh selendangnya dari kedua bahunya, maka datanglah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan mengambil selendangnya serta memasangkan kembali di atas pundaknya dan menguatkan di belakangnya sambil berkata, “Wahai Nabi Allah, cukuplah permohonanmu kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia akan memenuhi bagimu apa-apa yang telah dijanjikan kepadamu.” Maka turunlah ayat:
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ أَنِّي مُمِدُّكُمْ بِأَلْفٍ مِنَ الْمَلائِكَةِ مُرْدِفِينَ
“(Ingatlah), ketika kamu memdhon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (QS. al-Anfal/8: 9).
Maka Allah mendatangkan bala bantuannya, yaitu para malaikat. (HR. Muslim).
Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Pada suatu hari ada seorang laki-laki dari kalangan kaum Muslim yang mengikuti jejak langkah seorang laki-laki dari kaum musyrik di depan-nya, tiba-tiba dia mendengar suara pukulan cemeti dari atas orang itu dan suara penunggang kuda, ‘Majulah Haizum!’. Lalu dia melihat orang musyrik yang ada di depannya itu dalam keadaan tergeletak/tersungkur dan dia melihat orang musyrik tadi dalam keadaan terpukul hidungnya, sobek wajahnya seperti kena cemeti dan memar seluruhnya. Lalu datanglah seorang Anshar dan menceritakan kejadian tersebut kepada Rasulullah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَدَقْتَ ذَلِكَ مِنْ مَدَدِ السَّمَاءِ الثَالِثَةِ
“Benar itu adalah bala bantuan langit ketiga.”
Lalu terbunuhlah pada waktu itu 70 orang dan tertawan 70 orang. (HR. Muslim).[]
Selasa, 10 Mei 2016
Jangan Terpedaya Dengan Gemerlap Dunia
Allah Ta’ala berfirman
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
“Wahai manusia, Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” (Qs Fathir: 5)
Yakni, bangkit setelah mati, pahala dan hukuman pada hari kiamat adalah hak, karena Allah Ta’ala menjanjikannya maka pasti terjadi.
“maka janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu”, yakni, jangan sampai dunia dengan perangkat, perhiasan dan kelezatannya yang begitu disukai oleh nafsu menipu kalian. Lalu kalian memburunya, hanyut tenggelam di dalamnya dan kalian tinggalkan amal untuk akhirat.
“dan janganlah (setan) yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah”, al gharuur di sini adalah setan, dia penipu karena ia menipu makhluk yaitu menjebaknya, melalaikan mereka dari amal akhirat, membujuk mereka untuk mengejar syahwat dunia dan kelezatannya meskipun dengan maksiat pada Allah. Merayu mereka dengan taubat setelah itu yang dapat menghapus maksiat mereka (Setan merayu supaya menggampangkan perbuatan maksiat karena nanti bisa bertaubat,ed). Dengan demikian mereka menyangka dapat mencicipi kelezatan dunia dan meraih nikmat di akhirat. (Tafsir Al Qurthubi , jilid 14 hlm. 322, Tafsir Al Qasimi, jilid 13 hlm. 14)
—
Disalin dari buku Hikmah Kisah-Kisah Dalam AL Quran, karya Dr. Abdul Karim Zaidan, Darus Sunnah
Bahaya Benda Terjatuh
Alasan Safety Talk:
Kondisi lingkungan kerja di PT Sayap Mas Utama memiliki potensi terhadap benda terjatuh, misal tumpukan pallet, tumpukan finish good, loading dan unloading raw material, dan sebagainya. Benda yang terjatuh bisa berbahaya bagi karyawan.
Poin – poin utama Safety Talk:
Pastikan susunan pallet telah benar dan tingginya tidak melebihi batas maksimal yang telah ditentukan
Pastikan pallet yang disusun pada racking telah aman dan tidak melebihi kapasitas beban aman yang telah ditentukan
Saat anda bekerja unloading / loading material, jaga jarak anda dengan kemasan raw material jumbo bag. Jangan pernah berjalan di bawah benda yang sedang diangkat.
Jangan menyusun barang secara vertical. Jika masih memungkinkan, susunlah barang secara horizontal
Pastikan bahwa kondisi racking tempat anda menyimpan barang dalam kondisi yang baik. Tidak miring, bengkok, atau rusak.
Jika anda bekerja di area mezzanine, pastikan bahwa anda tidak melewati batas aman. Pasang pintu pengaman di area mezzanine apabila tidak digunakan. Jangan melintas di bawah area mezzanine jika sedang dilakukan pekerjaan loading / unloading.
Saat menggunakan hoist atau alat pengangkat lainnya, pastikan beban yang diangkat tidak melebihi batas aman maksimum yang ditentukan.
Jangan meletakkan alat kerja seperti palu, mesin gerinda, obeng, dan sebagainya di lantai kerja yang miring
Jangan pernah melempar benda dari atas
“WASPADALAH SAAT BEKERJA” “SESUATU BENDA BISA TERJATUH DAN MENIMPA ANDA” “PASTIKAN SEMUA BENDA DISIMPAN DALAM SUSUNAN YANG BENAR DAN AMAN”
Minggu, 08 Mei 2016
Memahami Kebahagiaan Sejati
Syaikh Muhammad Mukhtar Asy Syinqithiy hafidzahullah berkata,
إن السعادة الحقيقية والحياة الطيبة تكون بالقرب من الله، القرب من ملك الملوك وجبار السماوات والأرض، فالأمر أمره، والخلق خلقه، والتدبير تدبيره، ولذلك تجد الإنسان دائماً في قلق وتعب، تجد الشخص يتمتع بكل الشهوات، ومع ذلك تجده من أكثر الناس آلاماً نفسية، وأكثرهم قلقاً نفسياً، وأكثرهم ضجراً بالحياة، واذهب وابحث عن أغنى الناس تجده أتعب الناس في الحياة، لماذا؟ لأن الله جعل راحة الأرواح في القرب منه، وجعل لذة الحياة في القرب منه، وجعل أنس الحياة في الإنس به سبحانه وتعالى.
Kebahagiaan sejati dan kehidupan yang baik diraih dengen mendekatkan diri kepada Allah.
Dekat dengan Raja dari seluruh raja,
Dekat dengan Dzat yang mengusai langit dan bumi,
Dimana..
Seluruh perkara atas perintahNya,
Seluruh makhluk adalah ciptaanNya,
Seluruh pengaturan atas rencanaNya..
Oleh karena itu, engkau akan dapati seseorang yang senantiasa galau dan penat,
Engkau dapati seseorang selalu menikmati semua keinginan syahwatnya,
Bersamaan dengan itu..
Engkau jumpai ia termasuk manusia yang paling tersakiti jiwanya,
Manusia yang paling gundah hatinya,
Manusia yang paling bosan hidupnya..
Pergilah dan carilah manusia terkaya di dunia ini niscaya engkau dapati dirinya termasuk manusia yang paling lelah hidupnya..
Mengapa?
Karena Allah jadikan ketentraman jiwa dalam pendekatan diri kepadaNya,
Allah jadikan kelezatan hidup dalam pendekatan kepadaNya,
Allah jadikan ketenangan hidup manusia dengan mendekat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
والصلاة الواحدة يفعلها الإنسان من فرائض الله، بمجرد ما ينتهي من ركوعه وسجوده وعبوديته لربه فإنه ما يخرج من مسجده إلا ويحس براحة نفسية، والله لو بذل لها أموال الدنيا ما استطاع إليها سبيلاً، إذاً الحياة الطيبة في القرب من الله، والحياة الهنيئة في القرب من الله، إذا ما طابت الحياة بالقرب من الله فبمن تطيب
Salah satu contoh, shalat yang dilakukan seorang insan termasuk diantara kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan.
Lantaran rukuk, sujud dan penghambaan yang telah ia lakukan terhadap Rabbnya,
Tidaklah ia keluar dari masjidnya tersebut kecuali ia merasakan ketenangan dalam jiwa..
Demi Allah,
Andai ia korbankan seluruh harta dunia yang ia miliki niscaya ia tak akan mampu meraih jalan kepadanya,
Dengan demikian kebahagaiaan hidup hanya diraih dengan mendekatkan diri kepada Allah,
Kehidupan yang manis diraih dengan mendekat kepada Allah..
Jika kebahagiaan hidup ini tidak diraih dengan mendekatkan diri kepada Allah, dengan siapa lagi hidup ini bisa menjadi indah?
****
Sumber:wwww.audio.islamweb.net
Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah wanitasalihah.com
Artikel wanitasalihah.com
Jumat, 06 Mei 2016
Cara Meraih Kehidupan yang Baik (Nasehat Menyentuh Hati)
Syaikh Muhammad Mukhtar Asy Syinqithiy hafidzahullah berkata,
إن الله تعالى يريد من عبده أمرين:
الأمر الأول: فعل فرائضه.
والأمر الثاني: ترك نواهيه وزواجره، ومن قال: إن القرب من الله عز وجل فيه الحياة الأليمة أو فيه الضيق، فقد أساء الظن بالله، والله! إذا ما طابت الحياة في القرب من الله فلن تطيب بشيء سواه، وإذا ما طابت بفعل فرائض الله وترك محارم الله فوالله لا تطيب بشيء سواه، ويجرب الإنسان متع الحياة كلها فإنه والله لن يجد أطيب من متعة العبودية لله؛ بفعل فرائض الله وترك محارم الله.
Sesungguhnya Allah Ta’ala menginginkan dari seorang hamba dua hal:
Pertama: Mengerjakan perintah-perintahNya.
Kedua: Meninggalkan larangan-laranganNya dan teguran-teguranNya.
Siapa yang mengatakan bahwa di dalam pendekatkan diri kepada Allah terdapat kehidupan yang serba susah dan sempit, sungguh dia telah berprasangka buruk kepada Allah.
Demi Allah,
Jika kehidupan ini tidak terasa manis dengan mendekatkan diri kepada Allah maka ia tak akan terasa manis dengan selainnya.
Jika kehidupan ini tidak terasa manis dengan menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya…
Demi Allah,
Kehidupan ini tak akan terasa manis dengan selain nya.
Seorang insan yang telah merasakan seluruh kenikmatan dunia maka demi Allah ia tak akan mendapati kenikmatan yang lebih lezat dari pada kenikmatan beribadah kepada Allah dengan menjalankan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan Allah.
أنت مأمور بأمرين: إما أن يأتيك الأمر: افعل أو لا تفعل، إذا قمت بفعل أي شيء في هذه الحياة فاسأل نفسك: هل الله عز وجل أذن لك بفعل هذا الشيء أم لم يأذن لك؟ فالأجساد والقلوب والأرواح ملك لله، ينبغي للإنسان إذا أراد أن يتقدم أو يتأخر أن يسأل نفسه، هل الله راضٍ عنه إذا تقدم؟ فليتقدم، أو الله غير راضٍ عنه؟ فليتأخر، فوالله ما تأخر إنسان ولا تقدم وهو يرجو رحمة الله إلا أسعده الله.
Engkau hanyalah dihadapkan pada dua perkara:
“Lakukan!” atau “Jangan engkau lakukan”
Jika engkau ingin melakukan apapun di dalam kehidupan ini maka tanyakanlah pada dirimu,
Apakah Allah mengijinkanmu melakukan perbuatan ini ataukah tidak?
Tubuh ini..
Hati ini..
Ruh ini..
Seluruhnya milik Allah..
Sepantasnya bagi manusia bertanya pada dirinya jika ingin mendahulukan atau mengakhirkan sesuatu.
Apakah Allah ridha jika engkau mendahulukannya? Jika iya, lakukanlah.
Atau Allah tidak meridhai nya? Jika iya, silakan tunda pekerjaan tersebut.
Demi Allah,
Tidaklah seseorang menunda atau mempercepat sesuatu sementara dia mengharap rahmat Allah kecuali Allah akan membahagiakan nya.
****
Sumber : wwww.audio.islamweb.net
Nama Allah: At-Tawwaab, Ar-Raqiib dan Asy-Syahiid
}At-Tawwaab
(Yang Maha Penerima Taubat)
Firman Allah عزّوجلّ:
أَلَـمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
"Tidaklah mereka mengetahui, bahwasannya Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya dan menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang?" (QS. At-Taubah/9: 104)
At-Tawwaab yang senantiasa menerima taubat orang-orang yang bertaubat dan mengampuni dosa orang-orang yang memohon ampunan. Maka setiap orang yang bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benar taubat, niscaya Allah akan menerima taubatnya.
Dialah at-Taa-ib (Yang Memberi taubat) kepada orang-orang yang bertaubat:
Bermula Dia memberi taufik kepada mereka untuk bertaubat dan menghadapkan hati mereka kepada-Nya. Dia-lah at-Taa-ib (yang menerima taubat) terhadap mereka setelah bertaubat, dengan menerima taubatnya dan mengampuni kesalahan mereka.
Atas dasar inilah penerimaan taubat-Nya terhadap hamba-Nya terbagi dua:
Pertama: Memberikan di hati hamba-Nya keinginan untuk bertaubat dan kembali kepada-Nya. Kemudian ia melaksanakan taubat dengan syarat-syaratnya, yaitu berhenti melakukan maksiat, menyesali telah melakukannya, berniat/berjanji tidak akan melakukannya lagi, dan menggantinya dengan amal shalih.
Kedua: Taubat-Nya terhadap hamba-Nya dengan mengabulkan, menerima, dan menghapus dosa dengannya (taubat). Sesungguhnya taubat yang sebenar-benarnya menghapus dosa sebelumnya.
{الـرَّقِيْبُ}Ar-Raqiib
(Yang Maha Mengawasi)
Yang mengawasi segala yang disembunyikan hati, yang memperhatikan setiap jiwa terhadap apa saja yang dilakukannya.
Firman Allah عزّوجلّ:
...إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
"... Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (QS. An-Nisaa'/4: 1)
Ar-Raqiib, Dia عزّوجلّ yang memelihara semua makhluk dan mengaturnya sebaik-baik tatanan dan sesempurna pengaturan.
{الـشَّهِيْدُ}Asy-Syahiid
(Yang Maha Menyaksikan)
Yang menyaksikan semua makhluk. Mendengar semua suara, yang tersembunyi dan yang nampak.
Melihat segala yang ada, yang samar dan yang jelas, yang kecil dan yang besar, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Yang menyaksikan untuk dan atas semua hamba-Nya dengan yang mereka ketahui.
Syaikh 'Abdurrahman Nashir as-Sa'di berkata: Ar-Raqiib dan Asy-Syahiid adalah sinonim, keduanya menunjukkan pendengaran Allah yang meliputi segala yang didengar dan penglihatan-Nya meliputi segala yang dilihat, ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu, yang nampak dan yang samar. Dia Yang Maha Menyaksikan apa yang bekerja dalam pikiran dan gerakan mata, apalagi perbuatan yang tampak dengan anggota tubuh.
Finnan Allah عزّوجلّ:
...إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً
"... Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (QS. An-Nisaa'/4: 1)
Firman-Nya:
...وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
"... Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu." (QS. Al-Mujaadilah/58: 6)
Karena sebab inilah, al-Muraaqabah merupakan amal ibadah hati yang paling tinggi, yaitu beribadah kepada Allah عزّوجلّ dengan nama-Nya ar-Raqiib, asy-Syahiid. Apabila hamba meyakini bahwa geraknya yang tampak dan tersembunyi diketahui Allah عزّوجلّ sehingga menghadirkan keyakinan ini dalam setiap keadaannya, niscaya hal itu menjadikannya pengawasan yang tersembunyi dari setiap pikiran dan lintasan hati yang menyebabkan murka Allah عزّوجلّ. Dia memelihara zhahirnya (anggota tubuhnya) dari setiap perkataan atau perbuatan yang menyebabkan murka Allah dan beribadah dengan derajat ihsan, maka dia beribadah kepada Allah seolah-olah ia melihat-Nya. Jika tidak sanggup seperti itu, hendaklah ia meyakini bahwa sesungguhnya Allah melihatnya.
Apabila Allah Maha Mengawasi segala yang samar, menyaksikan segala rahasia, dan niat, tentu Dia lebih menyaksikan yang nyata dan tampak, yaitu perbuatan yang dilakukan anggota tubuh. []
Selasa, 03 Mei 2016
Tafsir Surat AnNaba Ayat 31 - 40
QS. AN-NABA’ 31-36
Balasan terhadap orang yang bertakwa
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا. حَدَائِقَ وَأَعْنَابًا. وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا. وَكَأْسًا دِهَاقًا. لا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلا كِذَّابًا. جَزَاءً مِنْ رَبِّكَ عَطَاءً حِسَابًا.
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan, (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur. Dan gadis-gadis remaja yang sebaya, dan gelas-gelas yangpenuh (berisi minuman). Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula perkataan) dusta. Sebagai balasan dari Rabb-mu dan pemberian yang cukup banyak, (QS. An-Nabaa'/78:31-36)
* * *
Allah Ta'ala berfirman seraya memberitahukan tentang orang-orang yang berbahagia dan segala sesuatu yang telah disediakan bagi mereka, baik itu berupa kemuliaan maupun kenikmatan yang abadi. Di mana Dia berfirman, إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازاً "Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa mendapat kemenangan" Ibnu 'Abbas dan adh-Dhahhak mengatakan: "Yakni, dalam keadaan suci." Mujahid dan Qatadah mengemukakan: "Mereka beruntung dan selamat dari Neraka." Dan yang paling jelas di sini adalah pendapat Ibnu 'Abbas, karena setelah itu dia mengemukakan: "Hadaa-iqa," kata al-hadaa-iqa di sini berarti kebun-kebun kurma dan juga yang lainnya. حَدَائِقَ وَأَعْنَاباً. وَكَوَاعِبَ أَتْرَاباً "(Yaitu) kebun-kebun dan buah anggur. Dan gadis-gadis remaja yang sebaya," Yakni, bidadari-bidadari yang masih gadis. Ibnu 'Abbas, Mujahid, dan lain-lain mengatakan: "أَتْرَاباً yakni montok." Yang mereka maksudkan bahwa buah dada bidadari-bidadari itu montok dan belum mengalami penurunan, karena mereka semua masih gadis yang umur mereka sebaya, yakni mempunyai umur yang sama.
Dan firman Allah Ta'ala, وَكَأْساً دِهَاقاً "Dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman)." Ibnu 'Abbas mengatakan: "Yakni yang penuh lagi berturut-turut." Sedangkan Ikrimah mengatakan: "Yakni yang jernih."
Finnan Allah Ta'ala, لَّا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْواً وَلَا كِذَّاباً "Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pulaperkataan) dusta." Yakni, di dalam Surga itu tidak terdapat perkataan yang tidak bermanfaat dan tidak pula dosa dan dusta, bahkan Surga merupakan tempat yang penuh dengan keselamatan, semua penghuninya selamat dari segala bentuk kekurangan. Firman-Nya, جَزَاء مِّن رَّبِّكَ عَطَاء حِسَاباً "Sebagai balasan dari Rabb-mu dan pemberian yang cukup banyak." Yakni semua yang kami sebutkan itu merupakan balasan yang diberikan Allah kepada mereka. Dia memberikan hal itu kepada mereka sebagai karunia, anugerah, kebaikan, dan rahmat-Nya. 'Athaa-an hisaaban berarti pemberian yang cukup, memadai, selamat, lagi banyak. Masyarakat Arab biasa mengungkapkan: أَعْطَانِـي فَأَحْسِيْنِـي (Dia memberiku sehingga hal itu telah mencukupiku)." Artinya, Dia telah memberikan ke-cukupan kepadaku. Dan dari kata itu pula muncul kata حَسْبِيَ اللهَ yang berarti Allah sebagai Rabb yang mencukupiku.
QS. AN-NABA’ 37-40
- Kesempurnaan kekuasaan Allah عزّوجلّ
- Perintah agar manusia memilih jalan
yang benar menuju Rabb-nya
رَبِّ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الرَّحْمَنِ لا يَمْلِكُونَ مِنْهُ خِطَابًا. يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلائِكَةُ صَفًّا لا يَتَكَلَّمُونَ إِلا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَقَالَ صَوَابًا. ذَلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ مَآبًا. إِنَّا أَنْذَرْنَاكُمْ عَذَابًا قَرِيبًا يَوْمَ يَنْظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنْتُ تُرَابًا.
Rabb yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya; Yang Mahapemurah. Mereka tidak dapat berbicara dengan-Nya. Pada hari ketika ruh dan para Malaikat berdiri bershaff-shaff, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang diberi izin kepadanya oleh Rabb Yang Mahapemurah; dan ia mengucapkan kata yang benar. Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Rabb-nya. Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya dan orang kafir berkata: "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah." (QS. An-Nabaa'/78:37-40)
* * *
Allah Ta'ala memberitahukan tentang keagungan dan kemuliaan-Nya. Dan bahwasanya Dia adalah Rabb langit dan bumi serta segala yang ada diantara keduanya. Dan bahwasanya Dia adalah Rabb Yang Mahapemurah rahmat-Nya mencakup segala sesuatu. Dan firman-Nya, لَا يَمْلِكُونَ مِنْهُ خِطَاباً "Mereka tidak dapat berbicara dengan-Nya." Maksudnya, tidak ada seorang pun yang sanggup memulai mengajak-Nya berbicara kecuali dengan seizin-Nya. Yang demikian itu sama seperti firman-Nya, يَوْمَ يَأْتِ لاَ تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ "Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya." (QS. Huud/11:105).
Dan firman Allah Ta'ala, يَوْمَ يَقُومُ الرُّوحُ وَالْمَلَائِكَةُ صَفّاً لَّا يَتَكَلَّمُونَ "Pada hari ketika ruh dan para Malaikat berdiri bershaff-shaff, mereka tidak berkata-kata." Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan ruh di sini? Terdapat beberapa pendapat:
Pertama, apa yang diriwayatkan oleh al-'Aufi dari Ibnu 'Abbas, bahwa mereka adalah arwah anak cucu Adam.
Kedua, mereka adalah anak cucu Adam. Demikian yang dikemukakan oleh al-Hasan dan Qatadah. Qatadah mengatakan: "Dan inilah salah satu dari apa yang disembunyikan oleh Ibnu 'Abbas."
Ketiga, mereka adalah salah satu dari makhluk Allah dalam bentuk seperti bentuk anak cucu Adam, tetapi mereka bukan Malaikat dan bukan juga manusia, tetapi mereka makan dan minum. Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu 'Abbas, Mujahid, Abu Shalih, dan al-A'masy.
Keempat, ruh itu adalah Jibril. Demikian yang dikemukakan oleh asy-Sya'bi, Sa'id bin Jubair, dan adh-Dhahhak. Pendapat terakhir ini didasarkan pada firman Allah عزّوجلّ, نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ. عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ "dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan." (QS. Asy-Syu'araa'/26:193-194). Muqatil bin Hayyan mengungkapkan: "Ar-Ruh yang dimaksud adalah Malaikat yang paling mulia dan yang paling dekat dengan Allah عزّوجلّ sekaligus pengantar wahyu."
Kelima, ruh yang dimaksud adalah al-Qur-an. Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu Zaid, seperti firman-Nya: وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحاً مِّنْ أَمْرِنَا "Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (al-Qur-an) dengan perintah Kami." (QS. Asy-Syuura: 52).
Keenam, ruh yang dimaksud adalah salah satu Malaikat dengan ukuran seluruh makhluk. Dan Ibnu Jarir bersikap diam dan tidak memastikan salah satu dari pendapat-pendapat tersebut. Dan yang lebih mendekati, menurut pendapat saya (Ibnu Katsir), wallaahu a'lam, mereka adalah anak cucu Adam.
Dan firman Allah Ta'ala, إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرحْمَنُ "Kecuali siapa yang diberi izin kepadanya oleh Rabb Yang Mahapemurah." Yang demikian itu sama seperti firman-Nya, يَوْمَ يَأْتِ لاَ تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ "Di kala datang hari itu, tidak ada seorangpun yang berbicara melainkan dengan izin-Nya." (QS. Huud: 105). Dan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih:
وَلاَ يَتَكَلَّمُ يَوْمَئِذٍ إِلاَّ الرَّسُلُ
"Dan tidak ada yang berbicara pada hari itu melainkan para utusan saja."
Sedangkan firman-Nya, وَقَالَ صَوَاباً "Dan dia mengucapkan kata yang benar." Yakni, kata-kata yang benar. Dan di antara kata-kata yang benar itu adalah ucapan: "Laa ilaaha illallaah (tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah), sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Shalih dan 'Ikrimah.
Firman-Nya lebih lanjut, ذَلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ "Itulah hari yang pasti terjadi," yakni hari yang pasti akan terjadi, dan tidak mungkin tidak. فَمَن شَاء اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ مَآباً "Maka barangsiapa yang menghendak, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Rabb-nya." Yakni, tempat kembali dan jalan yang dijadikan petunjuk kepada-Nya serta manhaj yang dilalui di atasnya. Dan firman Allah Ta'ala, إِنَّا أَنذَرْنَاكُمْ عَذَاباً قَرِيباً "Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (hai orang kafir) siksa yang dekat," yakni hari Kiamat, untuk mempertegas kepastian terjadinya, sehingga ia pun menjadi dekat, karena setiap yang akan datang itu pasti datang. يَوْمَ يَنظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ "Pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya." Yakni, akan diperlihatkan kepadanya semua amal perbuatannya, yang baik maupun yang buruk, yang lama maupun yang baru. وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنتُ تُرَاباً "Dan orang kafir berkata: 'Alangkah baiknya sekiranya aku datiulu adalah tanah." Maksudnya, pada hari itu orang kafir berangan-angan, andai saja dulu aku di dunia hanya sebagai tanah dan bukan sebagai makhluk serta tidak juga keluar ke dalam wujud. Hal itu mereka katakan ketika adzab Allah diperlihatkan dan mereka melihat amal perbuatan mereka yang buruk telah ditulis oleh tangan para Malaikat yang mulia lagi berbakti. Ada juga yang berpendapat, hal itu mereka katakan ketika Allah memberikan keputusan kepada hewan-hewan yang pernah hidup di dunia dan Dia memberikan keputusan di antara binatang-binatang itu dengan keputusan-Nya yang adil yang tidak menzhalimi, sehingga kambing yang tidak bertanduk akan menuntut qishash dari kambing yang bertanduk. Dan setelah selesai pemberian keputusan, barulah dikatakan kepada binatang-binatang itu: "Jadilah kamu tanah kembali." Maka pada saat itu, orang kafir itu berkata, يَا لَيْتَنِي كُنتُ تُرَاباً "Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah." Yakni, andai saja aku menjadi hewan sehingga aku akan kembali menjadi tanah.[]
Publication : 1437 H_2016 M
Tafsir Surat An-Nabaa' ( Berita Besar )
Oleh : Imam Ibnu Katsir asy-Syafi'i رحـمه الله
Disalin dari Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8 hal 378-387 Terbitan Pustaka Imam Syafi'i Jakarta,
Download > 950 eBook dari www.ibnumajjah.com
Langganan:
Postingan (Atom)